Politik Uang, Korupsi dan Integritas Penyelenggara Pemilu
Menjelang pemilu banyak para calon kepala daerah, anggota legislatif melakukan berbagai cara untuk mempengaruhi pemilih supaya bisa meraup suara sebanyak-banyak. Saking semangat berkompetisi tak jarang mereka mengumbar janji manis dan sebagian mereka menyebar amplop yang berisikan uang atau bingkisan sembako. Secara sadar mereka telah melakukan politik uang, sebuah praktik koruptif yang akan menentukan ke berbagai jenis korupsi lainya pasca berhasil menduduki kekuasaan.
Politik uang (money politics) adalah sebuah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dari pemahaman tersebut, politik uang adalah salah satu bentuk suap. Praktik ini akhirnya memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye. Akhirnya setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran jika politik uang disebut sebagai "mother of corruption" atau induknya korupsi.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief, mengungkapkan politik uang telah menyebabkan politik berbiaya mahal. Selain untuk jual beli suara (vote buying), para kandidat juga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis. Tentu saja, itu bukan hanya dari uangnya pribadi, melainkan donasi dari berbagai pihak yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya dia terpilih. Perilaku ini biasa disebut investive corruption, atau investasi untuk korupsi. Dalam kajian KPK, keberhasilan dalam pemilu atau pilkada 95,5 persen dipengaruhi kekuatan uang, sebagian besar juga untuk membiayai mahar politik. Kontestan harus mengeluarkan Rp5-15 miliar per orang untuk ini. Salah satu jenis vote buying yang banyak terjadi dikenal dengan nama "serangan fajar".
Menggunakan istilah dari sejarah revolusi Indonesia, serangan fajar adalah pemberian uang kepada pemilih di suatu daerah sebelum pencoblosan dilakukan. Serangan fajar kadang dilakukan pada subuh sebelum pencoblosan, atau bahkan beberapa hari sebelumnya. Politik berbiaya mahal sebagian besar untuk membeli suara, vote buying. Ada yang namanya 'serangan fajar', kadang juga disebut 'serangan dhuha'. Pemilih akan dikawal betul agar suaranya benar-benar digunakan untuk memilih seseorang.
Dalam buku "Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014" disebutkan bahwa pembelian suara adalah praktik yang dilakukan secara sistematis, melibatkan daftar pemilih yang rumit, dan dilakukan dengan tujuan memperoleh target suara yang besar. Disebut sistematis karena terjadi mobilisasi tim yang masif untuk melakukan pendataan dan menyebarkan ribuan amplop uang, serta bergerilya untuk memastikan penerimanya benar-benar mencoblos pemberi amplop.
Serangan Fajar telah dilakukan sejak zaman Orde Baru dan seakan menjadi bagian dari proses demokrasi Indonesia. Hal ini dibuktikan dari survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada 2019 yang menyebutkan masyarakat memandang pesta demokrasi itu sebagai ajang "bagi-bagi rezeki".
Dalam survei tersebut ditemukan bahwa 40 persen responden mengaku menerima uang dari peserta pemilu, tapi tidak mempertimbangkan memilih mereka. Sementara 37 persen menerima uang dan mempertimbangkan memilih pemberinya. Tidak hanya dari sisi masyarakat, dari sisi politisi pun serangan fajar telah membangun sebuah tradisi demokrasi yang buruk. Politisi menganggap votes buying adalah sesuatu yang lumrah, ada yang menganggap sebagai ganti bekerja selama satu hari mesti dilakukan untuk bisa mengalahkan rivalnya pada pemilihan.
Maka terjadi prisoner's dilemma di antara kandidat. Mereka khawatir pesaingnya akan melakukan serangan fajar, sehingga dia melakukan hal yang sama. Mempengaruhi pilihan dengan politik uang pada akhirnya akan berdampak buruk bagi masyarakat sendiri. Praktik ini akan menghasilkan pemimpin yang tidak tepat untuk memimpin. Kebijakan dan keputusan yang mereka ambil kurang representatif dan akuntabel. Kepentingan rakyat berada di urutan sekian, setelah kepentingan dirinya, donatur, atau partai politik.
Akhirnya figur yang terpilih memiliki karakter yang pragmatis, bukan yang berkompetensi atau kuat berintegritas. Mereka memilih menang dengan cara apa pun, ini bukan sosok pemimpin yang ideal. Figur yang terpilih karena korupsi politik ini juga akan mendorong korupsi di sektor-sektor yang lain. Hal ini terjadi karena figur tersebut mengumpulkan uang "balik modal" yang dikeluarkannya selama kampanye.
Korupsi tersebut bisa berdampak di internal instansi yang dipimpin maupun kepada masyarakat. Di internal, korupsi bisa terjadi dalam bentuk jual beli jabatan atau pada pengadaan barang dan jasa. Sedangkan dampaknya kepada masyarakat, akan terlahir regulasi yang tidak memihak mereka, pungutan liar, hingga pemotongan anggaran untuk kesejahteraan.
Kerugiannya kepada masyarakat, pasti akan muncul pungutan liar, karena dia harus mencari sumber dana lain. Dia juga akan memotong anggaran, sehingga kualitas pembangun berkurang. Dalam hal ini, masyarakat mengalami kerugian langsung dan tidak langsung.
Telah dipahami, bahwa berbagai jenis korupsi adalah turunan dari politik uang. Maka dari itu, memberantas korupsi di Indonesia tidak akan tuntas jika politik uang sebagai induknya korupsi tidak dapat diatasi.
Pendidikan antikorupsi menjadi penting agar masyarakat dapat menolak serangan fajar. Dengan penolakan tersebut, harapannya rantai korupsi yang membelenggu negeri ini bisa putus. Jika KPK dan aparat penegak hukum lainnya bisa memotong mata rantai korupsi politik, maka nyaris sekitar 66-70 persen korupsi bisa dicegah atau dikurangi secara signifikan.
Masyarakat mesti menyadari bahwa mereka telah mempertaruhkan nasib selama lima tahun dengan menjual suaranya dengan harga yang sangat murah. Misalkan menerima amplop berisi Rp500 ribu untuk memilih orang yang tidak berintegritas. Berarti suara rakyat selama lima tahun hanya dihargai Rp100 ribu per tahunnya, atau Rp275 perak per harinya. Kalau saja masyarakat tahu bahwa jalan mereka tidak diperbaiki, sekolah tidak dibangun, akses kesehatan buruk, stunting, dan seluruh kebutuhan dasarnya tidak dipenuhi oleh para pemimpin yang hanya bermodal uang.
Atas fakta tersebut, pendidikan menjadi modal penting dalam melawan korupsi. Itulah sebabnya lembaga Anti Rasuah mencanangkan strategi Trisula, yaitu pendidikan, pencegahan, dan penindakan untuk memberantas korupsi. Dengan pendidikan antikorupsi yang baik, masyarakat yang cerdas akan mampu memilih pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.
Untuk mencegah praktek politik uang yang mengarah kepada pelaku koruptif bisa dimulai dari integritas penyelenggara pemilu mulai dari KPU, Bawaslu serta lembaga yang berhubungan dengan pemilu seperti DKPP dan MK. Karena pada dasarkan pemilihan umum merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi. Agar pemilihan tersebut dapat berjalan dengan baik dan mewujudkan demokrasi yang berkualitas, integritas penyelenggara pemilu memegang peranan yang sangat penting. Integritas ini mencakup sikap jujur, adil, transparan, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Artikel ini akan menguraikan pentingnya integritas penyelenggara pemilu dan bagaimana integritas tersebut dapat mendukung terwujudnya demokrasi yang berkualitas.
Oleh karena itu, perlunya menjamin keterbukaan dan transparansi. Integritas penyelenggara pemilu sangat penting untuk menjaga keterbukaan dan transparansi dalam proses pemilihan. Dengan memiliki integritas yang tinggi, penyelenggara pemilu akan memberikan akses yang adil dan setara kepada semua peserta pemilu, termasuk dalam hal informasi, akses ke media, debat publik, dan debat kandidat. Dengan demikian, masyarakat dapat memperoleh informasi yang jelas dan objektif mengenai calon yang bersaing, serta memahami visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan oleh masing-masing calon.
Integritas penyelenggara pemilu juga berdampak pada keberlanjutan dan keberhasilan pemilihan itu sendiri. Dengan memiliki integritas yang tinggi, penyelenggara pemilu akan menjalankan tugasnya dengan profesional dan adil, tanpa adanya intervensi atau tekanan dari pihak-pihak tertentu. Hal ini akan menjamin bahwa pemilihan berjalan secara lancar, akurat, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Keberlanjutan dan keberhasilan pemilu ini sangat penting untuk memastikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi dan keabsahan pemimpin yang terpilih.
Integritas penyelenggara pemilu juga berdampak pada partisipasi dan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilihan. Dengan memiliki integritas yang tinggi, penyelenggara pemilu dapat membangun kepercayaan masyarakat bahwa pemilihan berlangsung dengan jujur, adil, dan transparan. Hal ini akan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pemilihan, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon yang berkompetisi. Kepercayaan masyarakat ini juga penting untuk memastikan bahwa hasil pemilihan akan diterima secara luas dan menjadi dasar legitimasi bagi pemimpin yang terpilih.
Integritas penyelenggara pemilu merupakan elemen penting dalam mewujudkan demokrasi yang berkualitas. Dengan memiliki integritas yang tinggi, penyelenggara pemilu dapat menjaga keterbukaan, transparansi, independensi, dan netralitas dalam proses pemilihan. Hal ini akan mendorong partisipasi aktif masyarakat serta membangun kepercayaan terhadap hasil pemilihan. Oleh karena itu, peningkatan integritas penyelenggara pemilu melalui pembinaan, pelatihan, dan pengawasan yang ketat perlu menjadi fokus untuk mewujudkan pemilihan yang adil, akurat, dan berkeadilan.
Ada beberapa strategi pemberantasan money politics, diantaranya peningkatan kesadaran publik - kampanye pendidikan politik yang melibatkan masyarakat untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang bahaya money politics. - Sosialisasi nilai-nilai integritas, partisipasi politik yang berkualitas, dan tanggung jawab masyarakat dalam menjaga integritas pemilihan.
Penguatan regulasi dan penegakan hukum - penyusunan dan penguatan peraturan yang mengatur pendanaan politik, termasuk larangan praktik politik uang. - Meningkatkan kapasitas lembaga pengawas pemilu dan penegak hukum dalam mendeteksi, menyelidiki, dan menindak money politics.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pendanaan politik - mewajibkan partai politik untuk menyampaikan laporan keuangan secara terbuka dan transparan. - mendorong partisipasi masyarakat dalam pemantauan dan pengawasan terhadap pendanaan politik.
Pendidikan politik dan etika bagi calon dan partai politik - mengintensifkan pelatihan etika politik, kepemimpinan yang berkualitas, dan tata kelola partai politik yang baik. - mendorong penerapan kode etik dan sanksi bagi pelanggaran integritas dalam pemilihan.
Penguatan peran media dan civil society - menggalang kerjasama dengan media massa dalam memberikan pemberitaan yang kritis dan objektif terkait money politics. - mendukung peran aktif organisasi masyarakat sipil dalam memantau, mengadvokasi, dan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. (*)
References:
1. Laporan Akhir Penelitian Dampak Praktik Politik Uang Terhadap Kualitas Pemilihan Umum di Indonesia: Kasus Pemilu Legislatif 2014. (2014). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Retrieved from https://hdl.handle.net/20.500.12418/4949
2. Safitri, S. (2020). Money Politics: A Study of Money Politics in Indonesian Legislative Elections. Journal of Politics and Law, 13(1), 139–147. doi: 10.5539/jpl.v13n1p139
3. Serikat Perempuan Anti Korupsi. (n.d.). Politik Uang dan Perempuan di Pemilu 2019. Retrieved from http://www.antikorupsi.org/id/pemilu-2019-politik-uang-dan-perempuan
4. Sujanto, A. S. (2014). Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014. Jakarta
5. KPU. (2020). Standar Operasional Prosedur Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Tahun 2020. KPU RI.
6. KPU. (2012). Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.
7. Anwar, M. (2019). Tingkat Kepercayaan Masyarakat Terhadap Kinerja Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 21(3), 397-408
What's Your Reaction?


