AJI Indonesia: 17 Pasal dalam RKUHP Berpotensi Ganggu Kebebasan Pers

06 Dec 2022 - 10:22
AJI Indonesia: 17 Pasal dalam RKUHP Berpotensi Ganggu Kebebasan Pers
Warga menggelar aksi penolakan rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di luar Gedung DPR di Jakarta. (ist)

Jakarta, (afederasi.com) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia kembali mengkritisi 17 pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpotensi memberangus kebebasan pers di Indonesia.

Beberapa pasal yang dianggap membatasi kebebasan pers antara lain, pasal 240 dan pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah, serta pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses pengadilan. Dalam pasal 280 media bahkan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan.

“Ini masih ada ancaman akan mengganggu kerja-kerja teman jurnalis karena kita tahu peradilan di Indonesia itu masih memerlukan pemantauan yang luar biasa karena ada banyak kasus di peradilan, ada mafia-mafia peradilan yang kita mesti akui masih ada sampai sekarang,” ujar Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim.

Selain menuntut untuk menghapus 17 pasal itu, AJI Indonesia juga mendesak agar pengesahan RKUHP tidak dilakukan secara terburu-buru.

“AJI menyisir pasal-pasal yang memang ini sangat berpotensi mengganggu kerja-kerja jurnalis, memberangus kemerdekaan pers dan juga tidak menutup kemungkinan pasal-pasal itu akan mengantarkan teman-teman jurnalis ke jeruji besi,” jelas Sasmito.

Somad, seorang jurnalis asal Jakarta, berpendapat pasal-pasal bermasalah di RKUHP dapat menjerat siapa saja, termasuk masyarakat sipil.

“Jangan-jangan perkataan kita yang tidak dimaksud menghina, dianggap menghina. Jangan-jangan yang menafsirkan penghinaan itu, yang bisa menggunakan –pasal- penghinaan itu adalah orang-orang yang berkuasa,” ujar Somad.

Sementara Anggota Dewan Pers, Ninik Rahayu, menilai keinginan pemerintah dan DPR RI yang akan mengesahkan RKUHP saat publik masih mempertanyakan substansi dan proses penyusunannya, menunjukkan bahwa secara tidak langsung pemerintah dan DPR mencoba menghempaskan demokrasi. Kebebasan pers menurut Ninik, merupakan bentuk demokrasi yang paling praktis, strategis yang dibutuhkan bangsa Indonesia.

“Maka ketika kebebasan pers diberangus dilakukan dengan berbagai cara dan kita sudah memberikan masukan, rasanya pemerintah tidak berkomitmen pada demokrasi. Demokrasi yang diperjuangkan, yang sudah disepakati sebagai salah satu bentuk kita bernegara, kita sendiri, pemerintah dan DPR sendiri yang akan mencerabutnya,” ujarnya.

Ninik mengingatkan di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, ditegaskan kebebasan pers merupakan bagian penting dari demokrasi. Untuk itu kemerdekaan pers juga diharapkan tercermin di dalam undang-undang KUHP yang baru.

“Jadi upaya kriminalisasi dalam KUHP itu tidak sejalan dengan apa yang diatur dalam undang-undang empat puluh tahun 99. Kenapa? Karena unsur penting berdemokrasi adalah dengan kemerdekaan berbicara, kemerdekaan berpendapat, dan salah satunya adalah kemerdekaan pers,” kata Ninik Rahayu.

Dalam surat yang dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo pada Oktober 2022, Dewan Pers berpandangan secara substansi RKUHP masih bermuatan membatasi kemerdekaan PERS dan berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik. (ans)

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow