Mahbub Djunaidi, PMII dan Pahlawan Literasi
Mengenang nama Mahbub Djunaidi pasti takkan pernah bisa alfa dari kata “literasi”. Sosok eksentrik, gaul dan berparas cerdas itu memang telah terkenal dijejaring para akademisi Islam Indonesia, selain pernah menjabat sebagai Ketua Umum pertama Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Mahbub juga mengasah dirinya di ruang-ruang jurnalistik, sastra sekaligus politik.
Intelektual kelahiran Jakarta 27 Juli 1933 ini bahkan disebut oleh Ahmad Hifni (Penulis buku “Menjadi Kader PMII”, 2016) sebagai figur yang multi-perspektif, Mahbub ya organisatoris, agamawan, kolumnis dan berbagai predikat baik tersematkan kepadanya. Olah talenta yang sedemikian besar inilah yang menghantarkan Mahbub memang pantas untuk diberi gelar Pahlawan Nasional. Kiprahnya dalam dinamika Indonesia era Orde Lama dan transisi ke Orde Baru sudah tak dapat dipertanyakan, begitu banyak bukti sejarah bahwa Mahbub ikut andil dalam penataan nalar, laku kebudayaan, tata konsepsi politik dan terjun langsung dalam bingkai syiar keislaman di Indonesia.
Sebagai penulis aktif di koran Kompas, Mahbub menuangkan berbagai ide-gagasannya secara lugas dan penuh satire-humor yang unik, pendekatan kebahasaan-nya yang demikian membuat pembaca merasa tak hanya teredukasi, melainkan menikmati gaya tulisannya yang dari kata ke kata memicu rasa ingin tau yang besar. Mungkin, term tulisan “mbanyol” harusnya ternisbatkan kepada Mahbub, sebelum penulis-penulis setelahnya. Selain di Kompas, Mahbub juga aktif menulis di koran Duta Masyarakat. Militansinya dalam dunia kepenulisan juga masih masyhur dibenak kader-kader PMII saat ini, Mahbub berkata “Aku akan tetap menulis… menulis… hingga tak mampu lagi untuk menulis”. Mahbub sadar bahwa masyarakat Indonesia tak hanya bergerak dalam dinamika material-ekonomi saja, melainkan juga harus dibentuk state of mind-nya, edukasi berbasis literasi menjadi jalan keselamatan paling tepat pada saat itu.
Hal paling berkesan dalam ingatan saya soal Mahbub ialah ketika menerjemahkan novelnya George Orwell yang berjudul “Animal Farm”, Mahbub menamai novel itu dengan judul “Binatangisme”, padahal dalam makna terluarnya, Orwell menaruh perhatian pada konteks peternakan dan hubungan sosial antara hewan tersebut, bukan ideologi yang ada didalamnya. Watak ini menunjukkan kedalaman berpikir Mahbub yang “khas”, jelas Mahbub menampilkan citraan ideologisasi sosialisme-marxian yang kental dalam isi novel itu. Mungkin dari kecenderungan inilah Mahbub ingin menyadarkan rakyat Indonesia atas pentingnya nilai sosialisme dan gotong royong ala keindonesiaan.
Seperti umumnya para pahlawan dan nabi, Mahbub adalah anak sejarah, Mahbub dibentuk dan berkewajiban membentuk lingkungannya. Berbagai dinamika kehidupan yang ia alami, menunjukkan satu kiprah besar bahwa bangsa ini pernah melahirkan sosok pahlawan yang tidak hanya gagah menenteng senjata api, melainkan juga menenteng senjata literasi. Dan dalam momentum yang sakral ini, upaya kita bersama dalam mengharumkan nama Mahbub Djunaidi sebagai Pahlawan Nasional harus disegerakan. Jasa dan kerja kerasnya wajib dibayar tuntas oleh Indonesia. Besar kiranya harapan kita untuk tetap mengawal pengangkatannya.
Mengutip sabdanya Mahbub dalam Mars PMII: Putera bangsa… bebas merdeka//Tangan terkepal dan maju ke muka! Tidak ada bangsa yang merdeka tanpa lahirnya manusia yang sadar akan bangsanya.
Oleh Khoirudin Abbas, M.Si (Ketua IKA PMII Tulungagung, Jawa Timur)
What's Your Reaction?