“Tebu Manten”: Tradisi Sakral di Tengah Modernisasi Industri Gula Banyuwangi
Banyuwangi, (afederasi.com) – Saat mentari pagi baru menyingkap kabut di sekitar Pabrik Gula (PG) Glenmore, suasana tak seperti biasanya. Bukannya deru mesin, irama gamelan dan tarian tradisional menyambut dua batang tebu istimewa yang diarak bak sepasang pengantin dalam prosesi penuh makna: Tebu Manten.
Tradisi yang hidup di balik geliat industri gula ini tak tercatat dalam buku sejarah formal. Namun, di hati para petani dan pekerja PG Glenmore, ia adalah pusaka tak ternilai—warisan leluhur yang menandai awal musim giling. Tak sekadar seremoni, Tebu Manten adalah perwujudan syukur atas panen, doa untuk keselamatan produksi, dan simbol ikatan erat antara petani dan pabrik.
Secara harfiah, “Tebu Manten” berarti “pengantin tebu”. Dalam prosesi ini, dua batang tebu terbaik diperlakukan layaknya mempelai Jawa: satu dinamai Raden Bagus Rosan, satunya lagi Dyah Ayu Roromanis. Keduanya dimandikan dengan air kembang setaman, dikenakan busana pengantin, dan diarak menuju pabrik dengan iringan gamelan serta tarian klasik.
“Tebu Manten bukan sekadar pertunjukan budaya, tapi doa bersama. Doa agar musim giling berjalan lancar dan seluruh prosesnya diberi kelancaran,” ungkap Sugondo, General Manager PG Glenmore, Jumat (16/5/2025).
Bertempat di Jalan Lintas Selatan KM 4, Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore, PG Glenmore merupakan salah satu pabrik di bawah naungan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) yang masih setia melestarikan tradisi ini. Meski dihimpit arus modernisasi, Tebu Manten tetap hadir sebagai pengingat: bahwa industri tak boleh kehilangan sisi manusiawinya.
Dalam prosesi yang penuh simbol itu, terkandung filosofi mendalam—tentang sinergi antara petani sebagai penyedia bahan baku dan pabrik sebagai pengolah. Ikatan itu digambarkan melalui pernikahan simbolik dua batang tebu yang melambangkan kerja sama yang harmonis, saling menguatkan, dan berkelanjutan.
“Ini bentuk kolaborasi unik antara budaya dan industri. Ada relasi sosial dan emosional yang dibangun di sini,” tambah Sugondo.
Senada dengan itu, Khubul Wathoni Ahsani, Manajer MKSO Kebun Kalitelepak, menegaskan bahwa Tebu Manten adalah jembatan kepercayaan antara masyarakat dan industri.
“Tradisi ini menyatukan nilai spiritual, sosial, dan ekonomi dalam satu kesatuan. Ia bukan hanya warisan, tapi bagian dari strategi membangun loyalitas dan rasa memiliki,” ujarnya.
Di tengah era efisiensi dan pendekatan industri berbasis angka, PG Glenmore membuktikan bahwa budaya lokal tetap bisa berdampingan dengan mesin dan teknologi. Tradisi bukan beban, melainkan kekuatan.
Ketika prosesi Tebu Manten kembali digelar di musim giling tahun ini, masyarakat diingatkan bahwa manisnya gula tak hanya berasal dari tebu, tapi dari kerja sama, kearifan, dan cinta pada budaya yang tak lekang oleh zaman.(ron/dn)
What's Your Reaction?


