Geliat Musik Lokal Jombang Bertahan di Tengah Dominasi Kota Santri
Jombang, (afederasi.com) - Identitas Jombang sebagai "Kota Santri" dengan ratusan pesantren dan nuansa religius yang kental sudah melekat erat. Namun, di sela-suara azan dan lantunan kitab kuning, alunan musik dari gitar dan hentakan drum perlahan tapi pasti menemukan ruangnya. Meski tak seberisik tetangganya, Surabaya atau Malang, geliat musik lokal di Jombang nyata dan terus berjuang untuk eksis.
Ragil Wicaksono, seorang drumer dari band lokal Jombang, mengonfirmasi potensi yang sering kali luput dari perhatian ini. Ia mengutip data Survei Creative Economy Agency (Bekraf) 2018 yang menyebutkan subsektor musik menyumbang 0,49% terhadap PDB ekonomi kreatif nasional.
"Angkanya mungkin terlihat kecil, tapi di baliknya ada ratusan ribu musisi dan pekerja kreatif yang terus bergerak. Sayangnya, di kota kecil seperti Jombang, kontribusi ini sering tidak terlihat," ujar Ragil kepada afederasi.com, Minggu (09/11/2025).
Menurut Ragil, Jombang sebenarnya tidak kekurangan bakat muda yang berbakat. Ia mencontohkan berbagai festival kecil atau lomba band antarkampus yang selalu dipenuhi pemuda-pemudi berani tampil.
Data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur (2020) memperkuat pernyataannya, yang menyebutkan sekitar 20-30 band lokal aktif berkarya di sejumlah kota kecil, termasuk Jombang.
"Tapi masalah utamanya: di mana mereka bisa berkembang?" tanya Ragil retoris. "Panggung musik di Jombang tidak banyak. Kebanyakan venue lebih sering dipakai untuk hajatan keluarga atau acara resmi. Jadi, band yang ingin tampil harus berinisiatif sendiri: main di kafe, mengadakan acara, atau 'numpang' di event yang bukan khusus untuk musik," keluhnya.
Situasi ini memaksa musisi Jombang untuk mandiri. Ragil menggambarkan proses kreatif mereka serba DIY (Do It Yourself).
"Rekaman? Pakai laptop sendiri, dengan aplikasi bajakan atau pinjam teman. Video klip? Minta tolong teman yang hobi fotografi, pakai HP seadanya. Promosi? Andalkan Instagram, WhatsApp, atau buat konten pendek di TikTok. Mereka tidak punya label atau manajer. Semua dikerjakan sambil kuliah, kerja, atau membantu orang tua," paparnya.
Fenomena ini bukan hanya milik Jombang. Riset Lokadata (2023) tentang musisi lokal di kota-kota kecil Indonesia mengungkap bahwa lebih dari 60% musisi melakukan produksi dan promosi secara mandiri, tanpa dukungan label atau manajer.
Ragil juga menyoroti tantangan budaya. Sebagai kota santri, musik—terutama yang bergenre jauh dari nuansa religi—kadang belum dianggap sebagai hal utama. Hal ini membuat banyak musisi harus berkompromi, dari konten lirik yang disensor hingga hanya bisa manggung di acara internal kampus atau komunitas.
Namun, di balik segala keterbatasan, Ragil melihat sisi positif. Justru kondisi ini melahirkan keunikan dan ketulusan dalam bermusik.
"Karena tidak banyak panggung, mereka menciptakan panggung sendiri. Mereka main musik di ruang tamu, garasi rumah, atau kafe dengan sound system seadanya. Mereka bermain bukan sekadar untuk viral, tapi untuk bercerita," tuturnya.
Ragil membandingkan dengan Jogja atau Malang yang telah memiliki ekosistem musik yang lebih terstruktur, dengan sound engineer, fotografer, dan venue yang konsisten mendukung.
"Jombang belum sampai sana. Tapi pelan-pelan, sudah ada langkah kecil. Beberapa kafe mulai memberi ruang untuk live music, dan muncul kolektif-kolektif kecil yang mengadakan acara akustikan. Ini langkah yang sangat penting untuk membangun pondasi," terang Ragil dengan penuh harap.
Geliat musik lokal Jombang mungkin masih samar dan pelan. Tapi dari "Kota Santri" ini, lahir musik yang tulus dari ruang-ruang sempit. Sebuah musik yang tidak pernah benar-benar padam.
"Dan siapa tahu," pungkas Ragil, "suatu hari nanti dari Jombang akan lahir lagu-lagu yang membuat orang dari luar kota berkata, 'Jombang tidak cuma punya pesantren, tapi juga punya musik yang hidup dan berjiwa'." (san)
What's Your Reaction?


