Ludruk Jombang Cikal Bakal Teater Rakyat Legendaris Jawa Timur
Jombang, (afederasi.com) – Kabupaten Jombang tercatat dalam sejarah sebagai tanah kelahiran kesenian Ludruk yang legendaris. Embrio kesenian teater rakyat ini bermula dari dua bentuk kesenian, yaitu Lerok dan Besutan, yang bertumbuh subur di berbagai daerah di Jombang pada awal abad ke-20.
Pemerhati Sejarah dan Budaya Jombang, Nasrulilahi, menguatkan temuan ini dengan merujuk pada musyawarah ludruk se-Jawa Timur tahun 1968 di Surabaya. Musyawarah tersebut merumuskan bahwa masa awal Ludruk di Jawa Timur dirintis oleh Pak Santik, konon kelahiran Gudo, seorang petani dari Desa Plandi, Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang.
"Jombang sebagai tempat kelahiran ludruk, dan Surabaya sebagai kota metropolitan menjadi tempat persebaran awal dan perkembangannya," ujar Nasrulilahi, Minggu (16/11/2025).
Nasrulilalahi menceritakan pada tahun 1907, Pak Santik yang cedas dan kreatif, berwatak lucu dan penuh humor. Beliau bermatapencaharian sebagai petani penggarap.
Selama mengangur menunggu mada panen, memulai mata pencaharian tambahan barunya dengan berkeliling ngamen dari rumah je rumah, dari keramaian ke keramaian yang lain.
Awalnya, ia beraksi hanya dengan iringan musik mulut. Wajahnya dilorak-lorek dan matanya sering berlerak-lerok, sehingga masyarakat menyebut dengan Amen Lerok.
Kemudian, setelah berkolaborasi dengan Pak Amir dan P. Bolawi dari Desa Plandi, juga P. Culike dari Pandanwangi, mereka ngamen dengan iringan kendang dan lainnya.
Kelompok ini semakin lengkap dengan kehadiran Pak Pono yang berperan sebagai wedokan (laki-laki yang memerankan wanita).
Dengan wajah dibedaki putih tebal yang khas, yang dikenal sebagai "pupuran lerok". Mereka bertiga berkeliling dari kampung ke kampung dengan semboyan pantun:
"Keong nyemplung neng blumbang/ tinimbang nyolong aluwung mbarang" (keong meloncat ke dasar kolam/ ketimbang mencuri lebih baik ngamen).
Masa ngamen ketiga seniman pionir ini diperkirakan berlangsung dari 1907 hingga 1915, dengan seni Lerok terus dikembangkan. Pak Santik pada tahun 1916 sampai 1920-an.Lerokan Pak Santik kemudian bermetamorfosa menjadi kesenian Besutan yang lebih kompleks.
Besutan telah menyuguhkan cerita dengan tokoh-tokoh yang tetap dan berkarakter kuat, seperti: Besut: Tokoh utama rakyat jelata yang cerdas, kreatif, dan berjiwa pejuang dan pemberani.
Besut berbusana kain putih yg dibebetkan dari dada sampai betis. Biar kuat, diikat dengan tali lawe. Ada yg mrnyebutnya sebagai kain ihram, berhati suci. Ada pula yg mrnyebutnya ksin kafan, karena Besut berjuang menyampaikan kebenaran sampai siap mati.
Rusmini: Kekasih atau istri Besut yang cantik dan dicintai diibaratkan sebagai lambang tanah air drngan pakaian tradisional sdat Jawa, pakai jarik, kebaya, dan kerudung menutup rambut dan disampirkan ke pundak.
Sumo Gambar: Tokoh antagonis yang mencintai Rusmini. Orang kaya yg serakah, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Ibarat penjajah sisoknya. Pakaiannya ala Madura, baju koko terbuka, kaos lorek merah putih, dg celana ssmpsi lutut.
Man Gondo (Surabaya:Jamino Paman Rusmini yang berpihak pada Sumo Gambar karena kekayaannya. Menurut P. Asmuni Pelawak dan P. Tajib dari Gongseng Megaluh (pemeran Rusmini pada tahun 1940 sd 2000) wajah Man Gondo dipupur bedak putih, karena karakternya seperti Belanda (Londo), suka adu-domba, menghasut, makelaran perkara, dll.
Konflik cinta segitiga antara Rusmini, Besut, dan Sumo Gambar selalu menjadi bumbu penyedap dalam setiap lakon Besutan.Pertunjukan Besutan kaya akan ritual dan simbolisme. Sebelum lakon utama, selalu diawali dengan ritual pembuka yang mendalam.
Seorang (Man Gondo) pembawa obor (Lambang Hukum Oenjsjah Brlanda ) akan memandu Besut yang matanya terpejam (tidak boleh banyak tahu), mulutnya tersumbat susur/tembakau (tidak bolrh banxsk omong), dan berjalan ngesot (tidsk boleh mrndahului), melambangkan kehidupan rakyat yang tertindas.
"Ritual ini menggambarkan bahwa tokoh Besut melambangkan masyarakat yang hidupnya terbelenggu, terjajah, terkebiri," jelas Nasrulilahi.
Nasrulilahi atau akrab di sapa Cak Nas mengatakan, puncak ritual terjadi ketika Besut berhasil merebut obor dan memadamkannya. Saat itulah ia terbebas: matanya terbuka, mulutnya lepas, dan ia menari dengan heroik.
"Panggung pertunjukan (gadhogan) sederhana terbuat dari bambu, diterangi oleh "damar sewu" (obor dalam jumlah tertentu). Busana para tokoh juga penuh makna; Besut mengenakan kain putih dan tali lawe yang melambangkan kesucian dan kesatuan, serta ikat kepala merah sebagai simbol keberanian, " ungkapnya.
Cak Nas mengatakan untuk penyebaran dan warisan budaya kesenian Besutan berkembang pesat di beberapa wilayah Jombang, seperti yang dikembangkan oleh seniman-seniman seperti Sunari (Gongseng, Megaluh), Laeman, Pak Tari (Losari, Ploso), dan Carik Raji (Kedung Losari, Tembelang).
"Pertunjukan Besutan tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga cikal bakal teater rakyat yang menyedot perhatian massa. Kesenian inilah yang kemudian menjadi fondasi bagi Ludruk modern, yang oleh seniman seperti Cak Durasim, tidak hanya dikembangkan di Surabaya tetapi juga dijadikan alat perjuangan nasional," pungkasnya.
Dengan demikian, Jombang tidak hanya sebagai kota santri, tetapi juga menyimpan warisan sejarah budaya yang sangat berharga sebagai kota kelahiran Ludruk Jawa Timur. (san)
What's Your Reaction?


