Mahfud MD Ungkap Dampak Revisi UU KPK: Pelemahan Independensi, Tumpang Tindih Pengawasan, dan Kontroversi Penghentian Penyidikan
Dalam Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Hotel Grand Preanger, Kota Bandung, Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, mengungkapkan pandangannya terkait revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).

Jakarta, (afederasi.com) - Dalam Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Hotel Grand Preanger, Kota Bandung, Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, mengungkapkan pandangannya terkait revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Ia dengan tegas menyatakan bahwa revisi tersebut menjadi bagian dari upaya pelemahan terhadap KPK.
"Saya punya hak moral untuk mengatakan sekarang ini bahwa revisi UU KPK itu memang menjadi bagian dari upaya pelemahan terhadap KPK," ucapnya seperti yang dilansir dari Suara.com media partner afederasi.com.
Menanggapi pernyataan Mahfud MD, hasil survei transparansi internasional menunjukkan penurunan signifikan dalam skor indeks persepsi korupsi Indonesia. Menurut Mahfud MD, skor tersebut turun drastis dari peringkat 38 pada tahun 2022 menjadi 34 pada tahun 2023.
Dengan demikian, peringkat Indonesia dalam daftar negara terkorup turun dari 96 menjadi 110 dari 180 negara di dunia. Mahfud MD menegaskan bahwa penurunan ini disebabkan oleh revisi UU KPK yang telah dilakukan.
Lebih lanjut, Mahfud MD menjelaskan dampak konkret dari revisi UU KPK terhadap lembaga tersebut. Sebelum revisi, KPK diatur sebagai lembaga negara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun sesuai dengan Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002. Namun, setelah direvisi, Pasal 3 UU KPK 2019 meletakkan KPK di bawah kekuasaan eksekutif (presiden). Mahfud MD menyatakan bahwa hal ini melemahkan independensi KPK, terutama dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan pihak eksekutif.
Satu perubahan krusial lainnya adalah terbentuknya Dewan Pengawas setelah revisi, sesuai Pasal 37B UU KPK 2019. Meskipun tugasnya mirip dengan lembaga pengawas sebelumnya, Dewan Pengawas menyebabkan tumpang tindih fungsi pengawasan dan kebingungan dalam mekanisme kerja. Mahfud MD mencatat bahwa keberadaan Dewan Pengawas yang kinerjanya tidak efisien dapat memperparah situasi, karena tugas ini sebelumnya dilakukan oleh presiden, DPR, dan lembaga lain tanpa adanya pembedaan yang jelas.
Selain itu, Mahfud MD juga membahas hilangnya status penyidik dan penuntut pemimpin KPK. Pada UU KPK 2002, Pimpinan KPK memiliki status sebagai penyidik dan penuntut umum. Namun, setelah direvisi, dua status tersebut dihapus, meninggalkan kepemimpinan KPK terbatas pada kerja administratif dan mempersulit langkah aspek penegakan hukum.
Poin terakhir yang ditekankan oleh Mahfud MD adalah penghapusan kantor perwakilan daerah KPK. Sebelum revisi, KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi, memberikan kemudahan dalam supervisi terutama di tingkat daerah. Setelah revisi, pasal tersebut dihapus, menghilangkan kemampuan KPK untuk membuka kantor perwakilan daerah.
Terakhir, Mahfud MD menyoroti perubahan dalam proses penyidikan yang memungkinkan penghentian di tengah jalan. Sebelum revisi, KPK tidak bisa membatalkan proses penyidikan setelah dimulai. Namun, setelah revisi, KPK dapat menghentikan penyidikan/penuntutan dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) untuk kasus yang tidak selesai dalam waktu maksimal 2 tahun.
Mahfud MD menekankan bahwa hal ini problematik karena penanganan kasus korupsi membutuhkan waktu lebih dari 2 tahun, dan SP3 dapat disalahgunakan untuk mengintimidasi dengan menghentikan penyidikan tanpa bukti kuat. (mg-1/jae)
What's Your Reaction?






