Pelonggaran SVLK: Jalan Mundur dalam Diplomasi Hijau Indonesia

28 May 2025 - 19:38
Pelonggaran SVLK: Jalan Mundur dalam Diplomasi Hijau Indonesia
Penambangan kayu hutan. (Ilustrasi)

Bogor, (afederasi.com) – Di tengah tekanan geopolitik dan kompetisi pasar global, pemerintah justru memilih langkah kontroversial: menjadikan SVLK sebagai syarat opsional dalam ekspor produk furnitur dan kerajinan. Langkah ini, menurut Direktur Eksekutif Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Muhamad Ichwan, merupakan bentuk kemunduran serius dalam tata kelola kehutanan yang selama ini dijaga dengan penuh perjuangan.

Keputusan pelonggaran SVLK—yang hanya akan diberlakukan jika diminta negara tujuan ekspor—berpotensi mengikis kredibilitas Indonesia sebagai pelopor perdagangan kayu legal. Muhamad Ichwan mengingatkan bahwa selama lebih dari satu dekade, SVLK telah menjadi simbol komitmen Indonesia dalam pemberantasan pembalakan liar dan pembangunan sistem kehutanan yang transparan.

“Kita bukan hanya bicara soal dokumen legalitas,” kata Muhamad Ichwan. “SVLK adalah hasil dialog panjang lintas sektor, yang menjadikan Indonesia satu-satunya negara dengan lisensi FLEGT dari Uni Eropa. Melonggarkan ini sama artinya membuka ruang abu-abu bagi kayu ilegal masuk ke pasar,” tambahnya.

Sejak diluncurkan secara resmi pada 2009, SVLK dibangun untuk menjawab stigma negatif bahwa Indonesia adalah eksportir kayu bermasalah. Namun, tekanan dari kelompok pengusaha untuk melonggarkan aturan terus terjadi, dan kini kembali muncul dengan pendekatan baru: membuat dokumen V-Legal hanya sebagai formalitas negara tujuan ekspor.

Muhamad Ichwan menilai bahwa dampak dari pelonggaran SVLK bukan hanya bersifat teknis, tetapi akan menghantam kepercayaan pasar global. Ia menyebut bahwa nilai ekspor sektor kehutanan Indonesia mencapai USD 14,5 miliar pada 2022—angka yang terbangun justru karena reputasi SVLK sebagai jaminan mutu dan legalitas.

Selain kerugian ekonomi, pelemahan SVLK juga berpotensi memicu sanksi dari mitra dagang internasional. Menurut Ichwan, Uni Eropa dan Inggris dapat menganggap Indonesia tidak lagi taat pada Perjanjian Kemitraan Sukarela (VPA-FLEGT), yang selama ini menjadi dasar hubungan dagang berbasis kehutanan lestari.

Lebih jauh, sistem ekspor ganda—antara produk bersertifikat dan tidak—akan menciptakan disorientasi bagi pelaku UKM. Padahal, UKM dan komunitas adat selama ini telah berinvestasi untuk memenuhi standar SVLK agar bisa bersaing di pasar internasional. “Alih-alih membantu UKM, ini justru membuat mereka rentan dan kehilangan pasar,” ujar Ichwan.

Kekhawatiran terbesar, menurut JPIK, adalah terbukanya kembali celah pembalakan liar. Berdasarkan pemantauan JPIK, SVLK selama ini telah menjadi tameng utama untuk memfilter kayu dari sumber ilegal. “Kami telah melaporkan 171 dugaan pelanggaran kepada lembaga sertifikasi dan pemerintah, 75% ditindaklanjuti. Ini bukti bahwa sistem bekerja. Jika SVLK dilonggarkan, kami kehilangan alat utama pengawasan,” tegas Ichwan.

Melalui Pernyataan Bersama yang ditandatangani lebih dari 50 organisasi masyarakat sipil, JPIK menyerukan kepada pemerintah untuk membatalkan rencana deregulasi SVLK dan dokumen V-Legal. Mereka meminta agar seluruh ekspor kayu—apa pun bentuknya—tetap tunduk pada standar legalitas nasional tanpa pengecualian.

Muhamad Ichwan menyebut, pengakuan global terhadap SVLK harus diperkuat melalui diplomasi internasional, bukan justru digerus dari dalam. Menurutnya, keberhasilan Indonesia membangun sistem ini harus menjadi fondasi untuk menciptakan nilai tambah, bukan dikorbankan demi narasi efisiensi semu.

“Selama lebih dari 20 tahun kita membangun reputasi. Jangan rusak hanya karena tekanan sesaat. SVLK bukan beban, tapi aset diplomasi hijau yang harus dijaga,” pungkas Ichwan dalam pernyataan tegasnya. (jae)

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow