Monumen Mastrip Jombang Jadi Perlawanan Pendudukan Belanda
Jombang, (afederasi.com) - Sejarah kemerdekaan Indonesia tidak hanya ditulis oleh para pejuang senior. Di jantung kota Jombang, Jawa Timur, tergores narasi heroik Tentara Pelajar yang dengan gagah berani mengangkat senjata melawan kembalinya penjajah Belanda pasca-Proklamasi 1945. Mereka adalah para pemuda yang memilih berdiri di garis depan, membuktikan bahwa semangat nasionalisme tak lekang oleh usia dan bangku sekolah.
Faisol pemerhati sejarah Jombang mengatakan perjuangan ini merupakan bagian dari Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), sebuah kesatuan yang dibentuk untuk menampung para pelajar dan pemuda yang ingin berjuang mempertahankan kedaulatan negara.
Setelah kemerdekaan diproklamasikan, situasi keamanan di Indonesia masih sangat labil. Kedatangan pasukan Sekutu yang diboncengi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) memicu berbagai insiden dan pertempuran. Di Jombang, yang dikenal sebagai "Kota Santri" dan basis pesantren, gelora perjuangan juga berkobar.
Merespons kondisi ini, para pelajar dari berbagai sekolah di Jawa timur , sekolah menengah lainnya, Bersatu di bawah komando mas isman . Mereka tidak ingin hanya menjadi penonton. Dengan semangat "Merdeka atau Mati", mereka membentuk laskar-laskar pelajar yang kemudian dikonsolidasikan menjadi TRIP Jombang,“ terangnya.
Tentara Pelajar Jombang tidak bertempur secara konvensional. Dengan sumber daya yang terbatas, mereka mengadopsi strategi gerilya. Hutan-hutan di sekitar Jombang, lereng Gunung Anjasmara, dan bahkan kompleks pesantren dijadikan basis perlawanan.
Mereka terlibat dalam berbagai pertempuran sengit, antara lain:
Pertempuran di Pinggiran Kota: Menghadang konvoi Belanda yang ingin memasuki pusat kota Jombang.
Penyergapan Pos-Pos Belanda: Melakukan serangan mendadak untuk melumpuhkan logistik dan moral musuh.
Penggalangan Informasi sebagai mata-mata, para pelajar ini memiliki kelebihan karena tidak dicurigai. Mereka menyusup ke wilayah pendudukan untuk mengumpulkan informasi intelijen.
“Senjata yang mereka gunakan pun sangat sederhana. Mulai dari senjata rampasan, bambu runcing, hingga kepercayaan diri yang tinggi. Meski minim pelatihan militer formal, semangat dan kecerdikan mereka dalam bertempur sering kali membuat pasukan Belanda kewalahan,“ungkapnya.
Lahan pasar pon Jombang tahun 1920-an s/d 1970-an dan mulai tahun 1995 dibangun lokasi monumen Mastrip.
Faisol mengatakan yang dilakukan Tentara Pelajar Jombang ini bukanlah aksi nekat semata. Di baliknya, ada semangat nasionalisme yang mengakar kuat dan didikan moral dari lingkungan pesantren serta sekolah. Mereka adalah representasi dari Pemuda Pejuang yang rela mengorbankan masa depan pribadinya untuk masa depan bangsa.
Banyak dari mereka yang gugur di medan laga, namanya mungkin tidak tercatat dengan rapi dalam sejarah. Namun, pengorbanan mereka menjadi fondasi kokoh bagi kemerdekaan yang kita nikmati saat ini.
Kini, monumen dan makam pahlawan di Jombang menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Kisah heroik Tentara Pelajar ini harus terus diceritakan turun-temurun sebagai inspirasi bagi Generasi Muda Indonesia.
"Pesan kami sederhana, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Semangat juang, rasa cinta tanah air, dan keberanian untuk membela kebenaran seperti yang ditunjukkan kakak-kakak kami di TRIP dulu, harus tetap hidup dalam bentuk yang berbeda di era sekarang," pungkasnya.
Faisol menambahkan untuk mengenang perjuangan mereka, dibangunlah monument Di sebuah tempat yang kini dijadikan lokasi berdirinya dua patung anggota Mas TRIP, di Jl KH Wahid Hasyim di selatan lapas Jombang.
“Disitulah ada tiga pasukan yang gugur dalam peperangan. ”Sehingga di situ didirikan monumen Mastrip oleh Mayjen Imam Utomo Pangdam V Brawijaya tahun 1995, “ pungkasnya.
Dengan dibangunya monumen tersebut, kita tidak hanya menghormati jasa pahlawan, tetapi juga menyalakan kembali api semangat untuk memajukan Indonesia di masa kini dan mendatang.(san)
What's Your Reaction?


