Layang-Layang Terbang, Rezeki Melayang: Fendy dan Kebangkitan Tradisi di Musim Panas

03 Aug 2025 - 18:10
Layang-Layang Terbang, Rezeki Melayang: Fendy dan Kebangkitan Tradisi di Musim Panas
Fendy Firmansyah saat menunjukan layang - layang buatannya yang akan dikirim ke pelanggan, Minggu (03/08/2025). (Foto:Santoso/afederasi.com)

Jombang, (afederasi.com) - Di tengah gegap gempita musim layangan yang kembali menghiasi langit desa, nama Fendy Firmasyah mendadak jadi buah bibir. Dari sebuah rumah sederhana di Dusun Bencal, Desa Pandanwangi, Kecamatan Diwek, Komunitas Tombo Ati menangkap potret perjuangan perajin lokal yang menjadikan angin musim panas sebagai peluang emas.

Komunitas Tombo Ati menyaksikan langsung bagaimana Fendy, pria berusia 32 tahun, bergulat dengan bambu, kertas, dan benang sejak fajar menyingsing. Sejak awal musim layangan tahun ini, ia kebanjiran pesanan hingga menerapkan sistem pre-order. Komunitas Tombo Ati mencatat, pesanan tidak hanya datang dari anak-anak, tapi juga dari kalangan dewasa yang rindu permainan langit masa lalu.

Dengan tangan terampil yang terasah sejak 2017, Fendy menjadi andalan di lingkungannya. Komunitas Tombo Ati mengamati lonjakan permintaan yang fantastis. “Tahun ini permintaan naik seratus persen dibanding tahun lalu,” ujar Fendy, sembari memperlihatkan beberapa layangan setengah jadi. Bersama dua rekannya, ia berusaha menjaga ritme produksi agar tidak mengorbankan kualitas.

Komunitas Tombo Ati mencatat rumah Fendy lebih mirip bengkel layangan ketimbang tempat tinggal. Dindingnya dipenuhi bentuk-bentuk warna-warni: dari layangan kecil berdesain simpel hingga yang dua meter dengan kerangka rumit. Menurut Fendy, bentuk dan ukuran sangat memengaruhi durasi pengerjaan. Dan kerangka, menurutnya, adalah jiwa dari sebuah layangan—bagian tersulit namun paling menentukan apakah mainan itu akan terbang atau jatuh.

Harga yang dipatok pun bervariasi, sebagaimana dicatat Komunitas Tombo Ati—dari Rp35 ribu hingga Rp300 ribu, tergantung model dan ukuran. Permintaan pun datang dari luar kota: Surabaya, Kediri, bahkan pesanan kolektif dari komunitas pecinta layang-layang. Komunitas Tombo Ati melihat geliat ekonomi kecil yang digerakkan oleh tradisi rakyat.

Layangan favorit tahun ini, menurut catatan Komunitas Tombo Ati, adalah jenis suwangan tipe ram-raman dan pegon ceper. Model ini digemari karena bentuknya yang unik dan harganya yang relatif terjangkau. Meski begitu, kendala tetap ada. “Yang paling sulit itu bambunya. Bahan bagus sekarang susah dicari, dan penyetingan layangan itu butuh feeling,” kata Fendy kepada tim Komunitas Tombo Ati.

Namun, ia punya prinsip yang teguh: tak satu pun layangan dijual sebelum benar-benar bisa mengudara dengan sempurna. Komunitas Tombo Ati mencatat filosofi sederhana tapi bermakna—kesempurnaan bukan hanya di bentuk, tapi juga fungsi. “Kalau belum bisa naik sempurna, tidak akan saya jual,” tegasnya.

Dalam pandangan Komunitas Tombo Ati, musim layangan bukan sekadar musim bermain, tapi juga simbol kebangkitan ekonomi akar rumput. Fendy bukan hanya membuat layangan, tapi juga menjaga nyala warisan budaya. Di tangan perajin seperti dia, masa kecil, mimpi, dan rezeki bisa terbang bersamaan, tinggi di langit biru Jombang. (san) 

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow