Polemik Dokumen Permohonan Judicial Review Almas Tsaqibbiru: PBHI Soroti Tanda Tangan yang Hilang
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengamati dokumen permohonan judicial review yang diajukan oleh Almas Tsaqibbiru, yang membahas syarat batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi (MK).

Jakarta, (afederasi.com) - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengamati dokumen permohonan judicial review yang diajukan oleh Almas Tsaqibbiru, yang membahas syarat batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi (MK). Julius Ibrani, Ketua PBHI, yang bertindak sebagai pelapor, mengungkapkan bahwa dokumen permohonan perbaikan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbiru ke MK tidak memiliki tanda tangan, baik dari Almas maupun kuasa hukumnya.
Julius menjelaskan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi yang diadakan oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK). "Terkait dengan dokumen, kami mendapatkan dokumen langsung dari situs MK bahwa kami melihat, permohonan perbaikan yang diserahkan oleh pemohon juga tidak ditandatangani oleh kuasa hukum pemohon ataupun pemohon itu sendiri," kata Julius dalam sidang yang berlangsung secara daring, Kamis (2/11/2024) seperti yang dilansir dari Suara.com media partner afederasi.com.
PBHI menggarisbawahi pentingnya ketertiban dan kedisiplinan dalam segala konteks, termasuk dalam administrasi, di MK. Namun, PBHI menyoroti fakta bahwa dokumen resmi dari MK tidak memiliki tanda tangan dari penggugat.
Menghadapi situasi ini, PBHI meminta MKMK untuk memeriksa laporan mereka terkait dokumen tersebut. Mereka khawatir bahwa jika dokumen tersebut tidak pernah ditandatangani, maka seharusnya dianggap tidak ada permohonan perbaikan yang sah. "Kami berharap ini juga diperiksa. Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali, maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan batal permohonannya," ungkap Julius seperti yang dilansir dari Suara.com media partner afederasi.com.
Beberapa pihak melaporkan adanya dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menerima sebagian gugatan dalam perkara 90/PUU-XXI/2023. Dalam keputusan tersebut, MK memutuskan bahwa individu yang berusia kurang dari 40 tahun berhak mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres jika mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui pemilihan kepala daerah (pilkada).
Keputusan ini mendapat perhatian banyak pihak karena dianggap membuka peluang bagi Gibran Rakabuming Raka, keponakan Ketua MK Anwar Usman, untuk mencalonkan diri sebagai cawapres. Almas Tsaibbirru Re A, mahasiswa asal Surakarta yang mengajukan permohonan tersebut, memandang Gibran sebagai sosok pemimpin ideal dan mengidolakannya berdasarkan pencapaiannya selama menjabat sebagai Wali Kota Surakarta. Gibran dianggap mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Surakarta selama masa kepemimpinannya. (mg-1/mhd)
What's Your Reaction?






