"Dalam hal ini, Polisi Militer (POM) TNI kami turunkan, jangan sampai ada prajurit TNI yang terlibat, mungkin apa namanya provokator, atau mungkin punya lahan-lahan yang tidak sah di sana. Kami beri imbauan," kata Laksamana Yudo dalam konferensi pers di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta.
Selain itu, Yudo juga mengonfirmasi bahwa Danpuspom TNI, Marsekal Muda TNI Agung Handoko, telah mengirimkan tim gabungan untuk mendukung Satuan Tugas POM TNI di Pulau Rempang.
Meskipun prajurit TNI berada di Pulau Rempang, Panglima TNI menegaskan bahwa peran mereka hanyalah sebagai bantuan kepada polisi. Yudo menegaskan bahwa prajurit TNI di sana beroperasi sesuai dengan koordinasi dan instruksi dari Polri (Kepolisian Republik Indonesia).
Pulau Rempang menjadi sorotan setelah terjadi bentrok antara sejumlah kelompok masyarakat dengan polisi pada tanggal 7 September lalu. Bentrok ini terjadi karena warga menolak pengukuran lahan untuk proyek pembangunan Rempang Eco-City yang dikelola oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Pulau Rempang, dengan luas sekitar 17.000 hektar, dijadwalkan akan dikembangkan menjadi kawasan ekonomi terintegrasi yang mencakup sektor industri, jasa, komersial, permukiman, agro-pariwisata, dan energi baru dan terbarukan (EBT).
Selain intervensi TNI, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD juga telah meminta polisi untuk menangani aksi massa di Pulau Rempang dengan penuh kemanusiaan. Mahfud menekankan pentingnya penanganan masalah kerumunan orang atau aksi unjuk rasa dengan baik dan penuh kemanusiaan.
Selama beberapa tahun terakhir, Pulau Rempang telah menjadi fokus sengketa kepemilikan tanah yang kompleks. Meskipun hak atas tanah di Pulau Rempang diberikan kepada sebuah perusahaan pada tahun 2001 dan 2002, perubahan kepemilikan tanah yang terjadi pada tahun 2004 dan setelahnya telah menimbulkan konflik yang rumit. Mahfud MD menjelaskan bahwa saat investor memasuki Pulau Rempang pada tahun 2022, hak atas tanah tersebut sudah beralih kepada pihak lain. Namun, proses perubahan kepemilikan tersebut telah diluruskan, dan hak atas tanah tersebut kini kembali dimiliki oleh perusahaan sesuai dengan Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan pada tahun 2001 dan 2002. Sengketa saat ini terkait dengan proses pengosongan tanah yang menjadi sumber keributan, bukan hak atas tanah atau hak guna usaha itu sendiri. (mg-1/mhd)