Empat Hakim MK Mengungkap Perbedaan Pendapat terkait Usia Capres-Cawapres: Profil dan Pandangan Mereka
Empat hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengungkapkan perbedaan pendapat atau dissenting opinion terkait dengan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden yang berhak maju dalam Pemilu 2024 mendatang.
Jakarta, (afederasi.com) - Empat hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengungkapkan perbedaan pendapat atau dissenting opinion terkait dengan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden yang berhak maju dalam Pemilu 2024 mendatang. Profil empat hakim MK dalam putusan usia capres-cawapres ini pun disorot karena dianggap lebih mewakili suara publik.
Sebagai gambaran, dalam putusannya, MK menyatakan batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) adalah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum. Namun, dissenting opinion dari keempat hakim ini telah menimbulkan perdebatan hangat dalam lingkungan hukum dan politik Indonesia.
Saldi Isra: Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara yang Menentang Putusan MK
Hakim Saldi Isra, yang memiliki latar belakang sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara di Universitas Andalas, mempertanyakan putusan MK terkait usia minimal capres-cawapres. Saldi Isra menerima gelar Sarjana Hukum dari Universitas Andalas di Padang Sumatera Barat pada 1995 dan kemudian meraih gelar magister dari Universitas Malaya, Malaysia, pada 2001. Ia juga berhasil memperoleh gelar doktor di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada tahun 2009.
Saldi Isra telah menjadi hakim konstitusi sejak tahun 2017, ketika Presiden Joko Widodo menunjuknya untuk menggantikan Patrialis Akbar. Pada awal tahun 2023, ia diangkat menjadi Wakil Ketua MK, dan akan menjabat hingga 2028.
Wahiduddin Adams: Hakim Konstitusi Asal Palembang yang Memandang Lain Putusan MK
Hakim Wahiduddin Adams, lahir di Palembang pada 17 Januari 1954, juga merupakan salah satu hakim MK yang menyatakan perbedaan pendapat terkait batasan usia calon presiden dan wakil presiden. Wahiduddin Adams mengenyam pendidikan S1 Hukum di Universitas Muhammadiyah dan melanjutkan studi di IAIN Jakarta untuk program S2 dan S3 sebelum menjadi Hakim Konstitusi pada tahun 2014.
Sebelum karirnya di MK, Wahiduddin Adams bekerja di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sebagai Dirjen Peraturan Perundang-Undangan. Ia pernah pula menjadi Ketua Dewan Perwakilan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Arief Hidayat: Guru Besar Hukum yang Tidak Sepakat dengan Putusan MK
Hakim Arief Hidayat, yang memiliki latar belakang sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, juga mengungkapkan perbedaan pendapat terkait putusan MK mengenai usia calon presiden dan wakil presiden. Ia menempuh studi S1 dan S3 Hukum di Universitas Diponegoro, sementara program S2 diambilnya di Universitas Airlangga Surabaya.
Pada tahun 2013, Arief Hidayat memulai karirnya sebagai hakim konstitusi dan turut menjabat sebagai Wakil Ketua MK. Setelahnya, ia mengepalai MK selama dua periode, yakni dari tahun 2015 hingga 2018.
Suhartoyo: Hakim Konstitusi dengan Riwayat Karier yang Panjang
Hakim Suhartoyo, yang lahir di Sleman, DIY, pada 15 November 1959, juga menjadi salah satu hakim MK yang tidak setuju dengan putusan terkait batasan usia capres-cawapres. Riwayat pendidikan hukumnya mencakup program S1 di Universitas Islam Indonesia pada tahun 1983, S2 di Universitas Taruma Negara pada tahun 2003, dan S3 di Universitas Jayabaya pada tahun 2014.
Sebelum menjadi hakim konstitusi, Suhartoyo memiliki karier yang panjang sebagai hakim pengadilan negeri (PN) di berbagai daerah. Pada tahun 2015, ia diangkat menjadi hakim konstitusi, mengakhiri karier panjangnya di pengadilan negeri.
Keempat hakim MK ini memberikan kontribusi signifikan dalam diskusi seputar batasan usia calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2024, menciptakan keragaman pandangan yang memperkaya demokrasi Indonesia. (mg-3/jae)
What's Your Reaction?


