Belajar dari Tragedi Harapan Jaya, PMII Desak Pemerintah Benahi Sistem Transportasi
Tulungagung, (afederasi.com) – Menyusul kecelakaan maut yang merenggut dua nyawa mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung asal Jombang, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Tulungagung menggelar audiensi lintas sektoral di ruang aspirasi DPRD Tulungagung, Selasa (11/11/2025).
Audiensi tersebut menghadirkan sejumlah pihak terkait, di antaranya Polres Tulungagung, Dinas Perhubungan Kabupaten dan Provinsi Jawa Timur, serta perwakilan dari PO Harapan Jaya. Pertemuan ini menjadi langkah konkret untuk mencari solusi atas persoalan sistem trayek dan operasional bus yang dinilai menjadi pemicu utama terjadinya kecelakaan di jalan raya.
Perwakilan PMII Tulungagung, Ahsanur Rizqi, menyampaikan bahwa pihaknya menuntut kejelasan dan evaluasi terhadap jadwal keberangkatan bus yang dinilai tidak masuk akal. Jadwal antarbus yang hanya berjarak lima menit disebut menjadi faktor pendorong para sopir memacu kendaraan secara ugal-ugalan demi mengejar target waktu.
“Trayek yang terlalu rapat jelas berpotensi menimbulkan kecelakaan. Kami ingin sistem ini dibenahi agar keselamatan tidak dikorbankan demi kecepatan,” tegasnya.
Rizqi juga menyoroti adanya sistem kerja yang dianggap tidak manusiawi bagi para sopir. Menurutnya, kecelakaan tidak semata disebabkan oleh kelalaian sopir, melainkan juga tekanan dari sistem yang tidak sehat.
“Dua nyawa mahasiswa yang meninggal tidak bisa tergantikan, tetapi kita juga harus adil menilai. Sopir bus pun menjadi korban dari sistem yang menekan,” ungkapnya.
Sementara itu, Kapolres Tulungagung AKBP Muhammad Taat Resdi mengakui adanya ketimpangan antara jadwal trayek resmi di Terminal Gayatri dan kondisi lapangan.
“Di data resmi, jadwal keberangkatan sudah diatur rapi. Namun di lapangan, jarak antarbus bisa hanya lima hingga dua puluh menit. Kami sudah menurunkan anggota untuk mengecek, dan hasilnya memang tidak sesuai,” ujarnya tegas.
Lebih lanjut, Taat mengungkapkan fakta mengejutkan hasil wawancara pihaknya dengan sopir yang terlibat kecelakaan. Menurut pengakuan sopir, biaya perbaikan kendaraan pascakecelakaan tidak ditanggung oleh perusahaan, melainkan dipotong dari gaji mereka.
“Sistem seperti ini yang akhirnya menciptakan ‘monster di jalan’. Sopir terpaksa ngebut untuk mengejar setoran karena takut gajinya dipotong. Padahal mereka juga punya keluarga yang menunggu di rumah,” jelasnya.
Kapolres menegaskan, stigma bahwa sopir bus selalu ugal-ugalan atau pengguna narkoba tidak sepenuhnya benar. “Mereka juga manusia yang terjebak dalam sistem yang salah. Yang perlu diperbaiki bukan hanya perilaku sopir, tapi sistem kerja dari PO bus itu sendiri,” tambahnya.
Dari sisi regulasi, Agung Heru Sasongko selaku perwakilan Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Timur menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan evaluasi ketat terhadap operasional PO yang bermasalah.
“Jika dalam enam bulan ke depan terjadi kecelakaan serupa, izin trayek bisa kami cabut,” ujarnya tegas.
Sebagai langkah pencegahan, Dishub Provinsi berencana menerapkan sistem geofence, yakni pembatasan kecepatan bus di kawasan perkotaan maksimal 60 km/jam. “Jika bus melampaui batas tersebut, sistem akan memberikan notifikasi peringatan otomatis,” jelasnya.
Namun, Agung mengingatkan bahwa implementasi sistem ini membutuhkan proses. “Ini bukan seperti memesan makanan yang langsung datang. Kami butuh waktu dan koordinasi lebih lanjut dengan pihak PO. Rencananya, bulan depan akan ada pembahasan lanjutan,” imbuhnya.
Menutup audiensi, Ketua DPRD Tulungagung Marsono menyampaikan rasa duka mendalam atas meninggalnya dua mahasiswa dalam insiden tersebut. Pihaknya memastikan aspirasi PMII akan segera ditindaklanjuti melalui rapat komisi yang membidangi.
“Kami sudah mencatat seluruh masukan yang disampaikan. DPRD akan memanggil pihak-pihak terkait, termasuk manajemen Harapan Jaya, untuk membahas langkah pembenahan konkret,” pungkasnya.(riz/dn)
What's Your Reaction?


