PKS Menolak Penunjukan Presiden dalam Pemilihan Gubernur Jakarta
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan tegas menolak usulan pemilihan Gubernur Jakarta melalui penunjukan oleh Presiden, bukan melalui pemilihan langsung.
Jakarta, (afederasi.com) - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan tegas menolak usulan pemilihan Gubernur Jakarta melalui penunjukan oleh Presiden, bukan melalui pemilihan langsung.
PKS menyampaikan keprihatinannya terkait potensi kolusi, korupsi, dan nepotisme atau KKN yang dapat muncul sebagai dampak dari kebijakan tersebut.
Muhammad Iqbal, Juru Bicara PKS, menganggap usulan tersebut sebagai kemunduran bagi demokrasi. Menurutnya, Jakarta, dengan jumlah penduduk mencapai 12 juta jiwa dan APBD hampir Rp 80 triliun, membutuhkan pemimpin yang berkompeten dan memiliki legitimasi rakyat. Ia khawatir penunjukan presiden dapat menjadi celah untuk praktik KKN.
"Bisa saja suatu saat presiden atau partai pemenang menunjuk keluarga, kerabat, atau orang yang tidak memiliki kompetensi memimpin, dan ini adalah sebuah celah terjadinya KKN yang melawan amanat reformasi," ujar Iqbal.
PKS Menegaskan Penolakan terhadap RUU Daerah Khusus Jakarta
PKS secara konsisten menolak Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Iqbal menyatakan bahwa RUU tersebut disusun terburu-buru tanpa kajian mendalam, berpotensi merugikan warga Jakarta, dan dapat menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia.
"PKS sejak awal menolak Undang-Undang IKN, sejak awal konsisten agar Ibu kota tetap di Jakarta dan Gubernur serta Wakilnya harus dipilih oleh rakyat. Bukan ditunjuk Presiden," tegas Iqbal seperti yang dilansir dari Suara.com media partner afederasi.com.
Pendapat Baleg terkait Penunjukan Gubernur Jakarta
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg), Achmad Baidowi, memberikan tanggapan terkait penunjukan Gubernur Jakarta secara langsung dalam draf RUU tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Baidowi mengungkapkan bahwa usulan ini muncul dari diskusi fraksi-fraksi di Baleg ketika membahas kekhususan yang akan diberikan kepada Jakarta setelah status ibu kotanya dipindahkan ke Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan.
"Maka kita merujuk pada pasal 14 b Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara kita mengakui satuan daerah khusus dan atau istimewa. Kekhususan yang diberikan kita bersepakat bahwa kekhususan termasuk yang paling utama itu dalam sistem pemerintahannya," kata Baidowi seperti yang dilansir dari Suara.com media partner afederasi.com.
Awalnya, lanjut Baidowi, ada keinginan agar tidak ada Pilkada untuk Daerah Khusus Jakarta. Namun, setelah mempertimbangkan Pasal 18 a, yang menyatakan bahwa daerah otonom memilih kepala daerahnya melalui proses demokratis, ditemukan jalan tengah.
"Bahwa gubernur Jakarta itu diangkat diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usulan atau pendapat dari DPRD sehingga usulan atau pendapat dari DPRD itu DPRD akan bersidang siapa nama-nama yang akan diusulkan. Itu proses demokrasinya di situ," tutur Baidowi seperti yang dilansir dari Suara.com media partner afederasi.com.
Melalui pendekatan ini, diharapkan demokrasi tetap dapat terwujud, dengan mempertimbangkan aspek kekhususan Daerah Khusus Jakarta. (mg-1/jae)
What's Your Reaction?


