Perlambatan Ekonomi China, Indonesia Siapkan Langkah Antisipatif
Kondisi ekonomi China, pasca menghadapi dampak pandemi Covid-19, terus menjadi sorotan utama dalam ranah global.
Jakarta, (afederasi.com) - Kondisi ekonomi China, pasca menghadapi dampak pandemi Covid-19, terus menjadi sorotan utama dalam ranah global. Dosen dan peneliti Paramadina Public Policy Institute, Muhamad Iksan, menjelaskan bahwa secara menyeluruh, ekonomi Republik Rakyat China belum sepenuhnya pulih. Ia menyoroti perlambatan ekonomi yang terindikasi dari melemahnya permintaan dalam negeri, terutama terlihat pada pertumbuhan penjualan ritel yang hanya mencapai 18,4 persen pada periode Januari hingga Februari 2023. "Angka ini masih berada di bawah perkiraan para analis yang sebelumnya memprediksi pertumbuhan ritel di China akan tumbuh sebesar 21 persen pada periode tersebut," ujar Iksan dalam diskusi akhir tahun di Jakarta, yang diinisiasi oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) seperti yang dilansir dari Suara.com media partner afederasi.com.
Iksan menekankan bahwa situasi ekonomi China yang belum stabil menjadi landasan bagi Indonesia untuk mengambil langkah-langkah antisipatif. Menurutnya, penting bagi Indonesia untuk menjaga keseimbangan dalam hubungan ekonomi dengan China dan mitra dagang lainnya, termasuk Amerika Serikat. "Indonesia perlu mempertimbangkan strategi yang tepat untuk menghadapi potensi perlambatan ekonomi China yang dapat berdampak pada dinamika ekonomi global," tambahnya.
Ketua FSI, Johanes Herlijanto, turut memberikan perspektifnya terkait perlambatan ekonomi China di tahun 2023. Herlijanto melihat situasi ini sebagai kelanjutan dari masalah-masalah yang sudah muncul sebelumnya, seperti krisis properti yang mulai terasa sejak pertengahan tahun 2022. Ia juga menyoroti masalah pengangguran, beban hutang dalam negeri, dan penurunan daya beli masyarakat sebagai pemicu ketidakstabilan ekonomi China. "Fenomena 'kaum rebahan' di kalangan anak muda China, yang mungkin dipicu oleh budaya kerja '996', menunjukkan adanya kejenuhan terhadap tuntutan waktu kerja yang panjang," ungkap Johanes.
Dalam konteks ini, Iksan dan Johanes sepakat bahwa Indonesia perlu memperkuat posisinya dengan menjalin kerjasama ekonomi yang lebih luas dan mendiversifikasi sumber-sumber investasi. "Langkah-langkah antisipatif ini diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global yang masih terasa," kata Iksan.
Namun, tantangan tidak hanya terbatas pada sektor ekonomi. Johanes menyoroti isu keamanan di kawasan Asia Timur dan Tenggara yang semakin kompleks. Salah satu fokus utama adalah ketegangan di Selat Taiwan. Kekhawatiran terhadap kemungkinan China menggunakan kekerasan untuk reunifikasi Taiwan tetap tinggi, mengingat pernyataan Presiden RRC Xi Jinping yang tidak mengecualikan penggunaan kekuatan.
Di sisi lain, ketegangan di LCS juga menjadi sorotan. RRC terus menunjukkan tindakan agresif di ZEE beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Filipina. Johanes menekankan bahwa Indonesia dan negara-negara ASEAN perlu bersikap tegas terhadap tindakan provokatif China di kawasan tersebut. "Upaya bersama antara negara-negara ASEAN untuk mencegah tindakan agresif dan provokatif di ZEE perlu diperkuat," tegasnya.
Dengan demikian, Indonesia dihadapkan pada tugas yang semakin kompleks, mempertahankan stabilitas ekonomi dan mengelola ketegangan geopolitik yang melibatkan China di kawasan Asia-Pasifik.(mg-2/jae)
What's Your Reaction?


