Mata Digital: Mendorong Inklusi Digital Daerah
Mungkin biasa saja jika orang non-disabilitas memainkan handphone (HP) dan berjualan melalui media sosial (medsos). Akan tetapi bagaimana jika seseorang dengan keterbatasan pengelihatan, eksis untuk memasarkan barang dagangannya melalui media daring tersebut.

Tulungagung (Afederasi.com) - JEMARI Ali Mashar dengan lincah menjelajahi layar sentuh, ponsel Android yang dilengkapi aplikasi TalkBack miliknya, menata barang dagangannya di marketplace. Rupa-rupa barang yang dijualnya; dari kendaraan bermotor hingga properti.
Pemuda asal Desa Sumberdadi, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur ini, penyandang disabilitas netra. Dia kehilangan penglihatan sejak tahun 2016.
Meski memiliki keterbatasan fisik tak menyurutkannya menekuni dunia digital marketing, berjualan di sebuah marketplace, sejak tahun 2020.
Kisah perjalanan Ali bukan tanpa rintangan. Kedua matanya yang tak lagi berfungsi disebabkan kecelakaan motor yang dialaminya tahun 2016. Benturan keras di kepalanya mengakibatkan syaraf penglihatannya rusak, menjadikan Ali mengalami kebutaan total.
"Saya netra awal 2013, itu masih satu. Satu kondisi masih 70 persen, masih remang-remang. Terus mengalami total itu pada 2016," ujar Ali, sapaannya.
Dia mengenang bagaimana setelah kehilangan penglihatan, awalnya dibantu istrinya untuk beraktivitas sehari-hari. Di dalam hatinya waktu itu masih tersimpan semangat belajar terus berkobar, dan dengan dukungan teknologi agar mampu mandiri.
Dalam dunia digital marketing, Ali bukan hanya seorang pelaku, tetapi seorang kreator. Setiap hari, dia mengunggah ragam barang ke berbagai marketplace, menjual mobil, motor, serta properti berupa tanah dan rumah.
Tidak hanya itu, Ali juga memproses data dan foto barang dari klien-kliennya dengan teliti. "Dulu masih dibantu istri. Tapi kini sudah ada fasilitas HP Android yang ada aplikasi TalkBack atau pembaca layar, jadi Alhamdulillah bisa sendiri," jelasnya sambil tersenyum bangga.
Keberhasilan Ali terbukti dengan penjualan hingga 3 unit mobil dalam sebulan. Setiap pesan yang masuk ke akunnya direspons secara mandiri.
Ali bukan sekadar seorang penjual, tetapi juga seorang pelayan. Pelanggan-pelanggannya bukan hanya mempercayakan jasanya sebagai digital marketing, tetapi juga merasakan keprofesionalan dalam setiap interaksi.
Mata Digital : Membuka Gerbang Digital bagi Disabilitas Netra
Ali Mashar, berhasil membawa nama baik Kabupaten Tulungagung dengan menorehkan medali perak dan perunggu di ajang National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) tingkat provinsi.
Selain prestasinya di bidang olimpiade, Ali beberapa waktu mulai diliput berbagai media lokal hingga nasional karena kemampuannya di bidang digital marketing.
Ali Mashar, Mahir Menggunakan Sosial Media Untuk Kegiatan Digital Marketing
Mungkin biasa saja jika orang non-disabilitas memainkan handphone (HP) dan berjualan melalui media sosial (medsos). Akan tetapi bagaimana jika seseorang keterbatasan pengelihatan, eksis untuk memasarkan barang dagangannya melalui media daring tersebut. Tentu mempunyai tantangan dan hambatan tersendiri.
Melalui pelatihan bertajuk pemanfaatan teknologi digital yang diadakan Dinas Sosial (Dinsos) Kabupatan Tulungagung menggandeng Organisasi Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Kabupaten Tulungagung pada sekitar tahun 2020 silam, Ali terampil dan cepat dalam menguasai smartphone hingga medsos.
Didukung teknologi smartphone yang sudah menyediakan aksesibilitas untuk penyandang disabilitas netra. Smartphone dengan sistem operasional Android sudah disematkan aplikasi Google Talkback. Fitur TalkBack ditujukan untuk membantu penyandang tunanetra atau memiliki gangguan penglihatan saat berinteraksi. Fungsinya untuk menyeleksi dengan kotak fokus, tulisan gambar yang terdapat di layar HP dan memberikan isyarat audio sebagai navigasi.
Ali yang mengalami hilang penglihatan sejak menempuh sekolah menengah atas (SMA), menguasai smartphone dengan fitur tersebut tidak terlalu sulit baginya. “Kalau netra dari kecil itu mungkin prosesnya agak lama Mas, tapi karena saya tidak dari kecil, gambaran posisi tombol, menu, gambaran Facebook seperti apa itu kan sudah tahu, jadi tinggal menghafal posisinya tulisan-tulisan, sama ada update-update-nya pasti itu. Kalau (kecepatan) belajar itu masing-masing, jadi kalau memang sudah mempunyai HP Android dipakai setiap hari itu pasti cepat Mas. Kalau saya kemarin menyesuaikan satu minggu sudah bisa penyesuaian lagi. Kalau belajar dari nol dan sering digunakan itu mungkin satu bulan sudah bisa.” jelasnya.
Penguasaan fitur TalkBack Google memang belum sepenuhnya dapat diterapkan untuk membaca keseluruhan isi gambar. Namun setidaknya dapat mendeskripsikan isi dari gambar. Misalnya, terdapat sebuah gambar mobil dan seseorang berdiri di sampingnya. "Aplikasi cuma mendeskripsikan ada seseorang berdiri di samping mobil. Jadi kalau itu mobil apa seperti apa itu kan nggak tau. Trus yang nggak bisa lagi itu, kalau video kan otomatis nggak bisa, otomatis hanya menggunakan suaranya, sama diagram otomatis minta bantuan orang lain yang bisa melihat.” katanya.
Selain mahir dalam menggunakan smartphone, teman- teman Pertuni Tulungagung juga mulai menguasai teknologi lainnya, komputer misalnya. Imam Fachrudin, salah seorang anggota yang menggunakan komputer untuk melakukan pekerjaannya. Saat ini pula dia aktif menjalani berbagai pelatihan komputer melalui kelas daring yang diselenggarakan beberapa institusi, salah satunya Yayasan Inklusi. “Kalau melalui offline di Jawa Timur masih belum ada yang menyelenggarakan karena mungkin keterbatasan dana, karena membutuhkan operasionalnya yang besar,” ungkapnya.
Imam Fachrudin Aktif Mengikuti Berbagai Pelatihan Daring untuk Pengembangan Diri
Imam mendapatkan informasi terkait perkembangan dan pelatihan teknologi untuk kelompok disabilitas, diperolehnya melalui kanal grup WhatsApp (WA). “Informasi awalnya dari teman yang mengirim link grup IT, dari teman ke teman nanti ada informasi dikirimkan di situ termasuk teman-teman yang butuh beasiswa,” terangnya.
Masih menurut Imam, belajar dan mengoperasikan komputer lebih membutuhkan waktu daripada smartphone. Pasalnya terdapat menu atau fitur yang lebih luas dan kompleks. Penggunaan komputer para disabilitas sudah banyak digunakan untuk mengoperasikan Microsoft Word dan Excel. Misalnya ketika ditugasi membuat surat hingga perhitungan sederhana menggunakan Microsoft Excel. “Ketika jadi pengurus Pertuni itu gitu buat-buat surat sampai sekarang, juga mengajari teman-teman kalau mengoperasikan Excel, (biasanya) untuk (perhitungan) marketing-nya teman-teman itu memakai Excel lebih mudah,” jelasnya.
Penyandang disabilitas netra yang tergabung dalam organisasi Pertuni sudah banyak memanfaatkan kemampuannya mengoperasikan teknologi digitalnya.
Menurut Sekretaris Pertuni Kabupaten Tulungagung Yuniarsih, mereka menggunakannya untuk kebutuhan belajar bagi para pelajar, mencari informasi, atau menyimpan file-file materi pelajarannya hingga pelaku rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Kedepan kami ingin untuk kawan-kawan muda di Pertuni Tulungagung bisa memanfaatkan fasilitas digitalisasi yang ada semaksimal mungkin. Beragam sih kemampuan mereka untuk mengoperasionalkan smartphone ataupun komputer, sebetulnya kami juga membutuhkan tangan-tangan terampil untuk bisa membimbing kami untuk lebih maksimal lagi mengoperasionalkan gadget tersebut, sehingga kami dapat merasakan maksimal dalam alat-alat tersebut, mendukung profesi kami,” terangnya.
Semangat belajar untuk memanfaatan teknologi di kalangan disabilitas netra membuka pandangan untuk bersahabat dengan era digital. Membuka peluang informasi, ekonomi, hingga kreativitas. Maka penting untuk menggandeng mereka untuk menyusuri lorong transformasi digital ini.
Disabilitas Netra di Tulungagung
Jumlah penyandang disabilitas di Jawa Timur menurut data Kementerian Sosial tahun 2022 mencapai 22.350 orang. Di Kabupaten Tulungagung secara keseluruhan penyandang disabilitas pada tahun 2022 berada di angka 7.450 warga.
Sedangkan menurut pendamping disabilitas di Unit Layanan Terpadu (ULT) Perlindungan Sosial Anak Integratif (PSAI) Dinas Sosial Kabupaten Tulungagung, Mungis Syafi’i, total penyandang disabilitas netra di Tulungagung sejumlah sekitar 100 orang. Disabilitas terbagi menjadi empat kategori: disabilitas mental; disabilitas fisik; disabilitas intelektual; sama sensorik. “Ada sensorik rungu wicara sama netra,” jelasnya.
Mungis Syafi’i, Pendamping Disabilitas di ULT PSAI Dinas Sosial Kabupaten Tulungagung
Secara umum stigma negatif kepada kelompok disabilitas di Kabupaten Tulungagung sudah mulai memudar. Stigma berpengaruh kepada pemenuhan hak sosialnya. Mengutip dari Jurnal Perilaku dan Promosi: Indonesian Journal of Health Promotion and Behavior, menjelaskan stigma sebagai ciri fisik dan sosial yang bersifat negatif serta mengurangi kualitas identitas sosial atau harga diri individu maupun kelompok. Stigma dapat berasal dari diri sendiri (self-stigma) atau dari orang lain (enacted/public stigma). Stigma dari diri sendiri hadir karena mereka merasa bahwa diperlakukan di lingkungan sosialnya dengan perlakuan khusus. Akhirnya mereka menjustifikasi, mengklaim, menyalahkan dirinya secara negatif. Sedangkan stigma publik hadir karena pandangan orang lain tentang anggapan disabilitas netra mempunyai keterbatasan yang lebih besar daripada kemampuannya.
Menurut Sinalungga, stigma negatif terjadi karena adanya "normalisme" atau paham normalitas di kalangan masyarakat. Maka kelompok disabilitas dianggap sebagai kelompok yang tidak sewajarnya (abnormal) kemudian dijadikan objek untuk "dikasihani", diberikan donasi dan tidak dapat mandiri.
Selain stigma negatif, perilaku diskriminasi menjadi sorotan penting dalam melihat kelompok minoritas disabilitas ini. Diskriminasi diartikan sebagai sikap membedakan golongan tertentu untuk kepentingan tertentu. Diskriminasi banyak dilakukan oleh kelompok mayoritas kepada minoritas. Termasuk kelompok disabilitas sebagai kelompok minoritas.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pasal 1 ayat 3 poin 2, secara khusus memberikan gambaran tentang perilaku diskriminasi terhadap kelompok disabilitas. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa diskriminasi adalah setiap perbedaan, pengecualian, pembatasan, pelecehan atau pengecualian atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak penyandang disabilitas.
Syafi'I menjelaskan, stigma negatif terhadap kelompok disabilitas masih tersematkan dari keluarganya sendiri. "Tantangannya yaitu membujuk mindset orang tua" ungkapnya.
Orang tuanya memberikan perhatian dan kasih sayang berlebih kepada mereka. Pandangan orang tua seperti yang disampaikan oleh Sinalungga, mereka para penyandang disabilitas dianggap hanya bisa pasrah berpangku tangan, bergantung kepada orang lain. Sehingga ketika ditawarkan sebuah pelatihan atau pengembangan diri seolah-olah tidak akan dapat mengikutinya.
Berbeda dengan hal itu, masyarakat di Kabupaten Tulungagung sudah mulai menerima penyandang disabilitas di tengah-tengah mereka. Para penyandang disabilitas menurut masyarakat sudah di luar dari ekspektasi. Misalnya secara mobilitas mereka sudah dapat memesan ojek online sendiri. Selain itu prestasi-prestasi lainnya secara akademik maupun non-akademik juga banyak ditorehkan. Mereka masih mau dan mampu bersekolah hingga ke tingkat perguruan tinggi. Prestasi non-akademik menjadi peraih medali dalam berbagai olimpiade kejuaraan. Dengan ini "Stigma-stigma (negatif) itu sudah berusaha saya hilangkan dengan cara (melihat) kemampuan. Mereka-mereka yang punya prestasi di olahraga harus ditonjolkan, jadi stigma-stigma tergerus sendiri. Tapi kalau orang tuanya seperti itu tadi kita gak bisa apa-apa. Saya biasa berdarah-darah melobi,” ungkap Safi'i mengenang perjuangannya.
Ketua Pertuni Tulungagung Imam Fachrudin bercerita pandangan masyarakat terhadapnya dan yang lain sudah lebih baik daripada sebelumnya. Pandangan bahwa penyandang disabilitas tuna netra tidak dapat melakukan pekerjaan apapun, sekarang masyarakat lebih membuka kesempatan baginya. Karena dulu kebanyakan orang itu biasanya memiliki pandangan disabilitas “ngesakne”. “Kalau menurut saya seorang disabilitas tidak butuh dikasihani, tapi berilah tempat untuk memperlihatkan saya bisa mandiri, beri ruang. Biasanya untuk kegiatan apa sudah divonis tidak bisa, padahal belum dikonsultasikan”. jelas Imam.
Secara umum inklusi untuk disabilitas di Kabupaten Tulungagung sudah mengalami peningkatan ke arah lebih baik. Walaupun progresnya tidak terlalu signifikan. Pembangunan fasilitas umum untuk disabilitas misalnya, beberapa perkantoran sudah memberikan fasilitas untuk mengakses layanan publik. Seperti perkantoran Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Tulungagung sudah disediakan sarana kursi roda hingga jalan khusus. Namun memang masih memerlukan penambahan seperti fasilitas di taman rekreasi, atau acara kegiatan-kegiatan keagamaan seperti ketika khotbah Jumat atau minggu yang memungkinkan untuk diberikan juru bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas tuna rungu.
Terkait peluang kerja Syafi’i menuturkan bahwa pemerintah kabupaten sudah membuka kuota sebesar 2 persen dari formasi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Sangat disayangkan, kuota tersebut belum sepenuhnya terpenuhi. Dikarenakan tidak sesuainya dengan kualifikasi yang dibutuhkan. “Repotnya adalah ketika teman-teman (disabilitas) jarang yang kuliah, jadi kualifikasi disediakan tapi tidak ada yang masuk,” ungkapnya.
Memang mereka berbeda secara fisik maupun mental. Tetapi kemampuan yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa selalu sempurna. Membuat ruang Inklusi bagi teman-teman disabilitas memang benar harus direalisasikan. Termasuk potensi dalam ruang digital.
Membuka Mata Menuju Inklusi Digital
Mendorong inklusi digital untuk mengurangi jarak (disparitas) dan kesenjangan digital (digital divide) di era teknologi semakin canggih dan cerdas menjadi salah satu jalan penting bagi teman-teman penyandang disabilitas, tidak terkecuali disabilitas netra. Kepekaan perusahaan raja teknologi seperti Google dan Microsoft mengenai aksesibilitas produknya untuk disabilitas netra membuktikan bahwa dunia teknologi ini tidak boleh hanya dinikmati oleh non-disabilitas.
Seperti sebelumnya cerita dari Ali Mashar, Imam dan teman-teman dari Persatuan Pertuni Kabupaten Tulungagung yang layaknya tidak terjadi apa-apa atas penglihatan mereka dalam memanfaatkan teknologi digital. Mereka mengoperasikan smartphone-nya, mengirimkan pesan teks, update story, mengunggah foto, mengetik surat, jual beli hingga memesan ojek online mereka sudah lakukan bertahun-tahun.
Ali bercerita dapat menghasilkan omzet jutaan melalui kegiatan digital marketing-nya. Selain memasarkan jasa pijat, dia juga berjualan online burung kicau, otomotif hingga properti. “Selagi ada peluang. Kalau saya berpikirnya gini, masak tuna netra keterampilan cuma mijat, terus ketika ada Android, kita sudah bisa mengoperasikan sosmed, iklan, apalagi YouTube, Facebook, saya berpikir kira-kira apa yang bisa menghasilkan (uang) di sosmed ini”. ungkapnya.
Berawal dari seorang teman menawari untuk mengiklankan mobilnya. Kemudian Ali meminta foto untuk dicoba mengiklankan di marketplace medsos Facebook. Ternyata ada seseorang yang berminat untuk membeli. Setelah negosiasi, terjualah mobil tersebut melaluinya. “Alhamdulillah deal, saya dikasih Rp 1 juta untuk komisi saya pertama. Lha terus setelah itu daripada nganggur kan, katakan orang mijat itu kan nggak selalu ada, sambil mengisi kekosongan itu saya ngiklanin mobil teman-teman saya itu. Jadi setelah itu, Alhamdulillah rata-rata 1 atau 2 mobil itu dalam sebulan,” terangnya.
Pemkab Tulungagung melalui dinsos pada sekitar September tahun 2020 lalu, mulai merealisasikan program pelatihan digital untuk para penyandang disabilitas. Pelatihan memberikan dampak besar pada para penyandang disabilitas untuk mengenalkan fitur smartphone yang mendukung aksesibilitas. “Ketika pendalaman, sharing antar-teman gitu kan, bisa ke rumah atau pas rapat Pertuni atau pas ngopi di tempat saya, mereka sering-sering gitu loh Ini masalah ini seperti apa masalah ini kok nggak bisa,” ungkap Syafi’i.
Secara tidak langsung pelatihan yang diselenggarakan dinsos tersebut mengacu pada visi inklusi digital. Melansir dari web inklusidigital.baktikominfo.id, inklusi digital merupakan program yang dijalankan oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Kominfo. Dengan program tersebut diharapkan warga negara khususnya para disabilitas mendapatkan kesempatan yang sama dalam berbagai aspek: pendidikan, ekonomi dan sosial budaya berbasis teknologi digital. Sehingga akselerasi digital pada tahun 2024 dapat tercapai. Sayangnya, program inklusi digital di Kabupaten Tulungagung belum sepenuhnya dijalankan secara maksimal.
Sebagai dinas yang paling dekat dengan kelompok disabilitas, dinsos sampai kini belum pernah mendengar istilah inklusi digital dan bekerja sama dengan dinas kominfo membahas program tersebut. “Lintas OPD itu sering seperti kejaksaan, pengadilan, lapas, itu ada semacam koordinasi. Kalau kominfo masalah digital inklusi ini belum pernah dengar. Pada 2020 itu program dari dinsos sendiri, kan ada anggaran kita gunakan apa yang pas untuk disabilitas, nah kita gali di teman-teman disabilitas, kalau digital ya pendidikan IT. Untuk pelatihan, dana dari daerah,” ungkap Safi’i ketika ditanya mengenai program inklusi digital.
Kedepan Ali dengan kemampuan, hobi serta didukung teknologi yang berkembang berangan-angan untuk memiliki web sendiri untuk menawarkan jasa iklan otomotif atau propertinya. “Angen-angen saya seperti itu, tapi gatau ntar tereksekusinya kapan belum tau. Untuk saat ini media sosial yang aktif Instagram Facebook, TikTok, itu yang aktif, jadi marketplace nya pasti di Facebook, kalau Shopee belum, kayaknya susah Shopee,”. ungkapnya.
Jadi walaupun ditakdirkan sebagai penyandang disabilitas netra yang memiliki kekurangan secara penglihatan, pemerintah dapat menjadi pelengkap dari kekurangannya. “Kebanyakan orangnya kan kurang percaya diri terus kurang diterima di masyarakat, dikucilkan itu kebanyakan, rata-rata yang saya alami, sharing sama teman-teman gitu, padahal kalau disabilitas itu kekurangan, jadi kayak pemerintah bisa melengkapi kekurangan itu. syukur-syukur dikasih modal, apa keterampilanmu diajarin, habis itu dikasih modal, dipantau, minimal di monitoring, pasti bisa berlanjut. Beda lagi kalau cuma kamu minta apa, orang pasti minta duit bantuan. Jadi kalau bisa kita gali keterampilannya untuk kehidupan sehari-hari,” ungkapnya.
Memang sudah banyak disabilitas netra Kabupaten Tulungagung sudah menggunakan smartphone, akan tetapi spesifikasinya masih rendah. “Kalau harus mengikuti saya seperti iklan-iklan itu ya sulit, pasti lemot HP-nya. Makanya kalau ada bantuan dari pemerintah, HP tipe terbaru kan lumayan. Ibaratnya jantung tuna netra HP itu. Saya sempat minta (fasilitas HP) ke dinsos untuk menunjang. Walaupun beli sendiri bisa, tapi pengenku ini agar pemerintah memperhatikan (kebutuhan disabilitas netra di bidang teknologi),” harapnya.
Senada dengan Ali, Imam juga mendorong teman-teman disabilitas netra dapat mengikuti perkembangan zaman. Akan tetapi kendalanya di Kabupaten Tulungagung belum ada yang mewadahinya. Karena akan membutuhkan fasilitas yang memadai terlebih dahulu, misal ketersediaan komputer atau laptop, tempat khusus, hingga pembelajaran secara intensif untuk mempersiapkan generasi muda menunjang pembelajaran di sekolah hingga perguruan tinggi.
Sekali lagi, untuk menyuarakan harapan mereka untuk sampai ke pemangku kebijakan tidaklah mudah. “Ya tapi saya memaklumi karena masing masing keterbatasan, ke sana juga harus ada yang mengantar. Apalagi kalau ke kantor harus ada pendampingnya. Kalau di kota kota besar sudah tidak asing. Teman teman banyak yang bekerja di media elektronik, programer, radio. Cuma di Tulungagung belum,” terangnya.
Inklusi digital untuk menyetarakan hak disabilitas netra di era digital ini tentu akan sangat membantu dan bermanfaat. Begitu menurut Sekretaris Pertuni Tulungagung Yuniarsi yang juga aktivis sering mewakili suara penyandang disabilitas netra Kabupaten Tulungagung. “Kami juga bisa sebenarnya, hanya saja mungkin kesempatan itu belum diberikan kepada kami, kesempatan untuk belajar dan bisa menguasai cara cara mempergunakan alat-alat tersebut. Semoga apa yang kami dapatkan ini sekarang ini bisa berkem bang lebih baik, lebih banyak, lebih maksimal lagi, sehingga kedepannya tentunya kami akan bisa mengikuti perkembangan digitalisasi yang ada tanpa ada kesulitan” harapanya. (mrc/*)
What's Your Reaction?






