Deportasi Mahasiswa Otonomi Khusus Papua: Kegagalan Pembiayaan dan Dampak Revisi UU Otsus

Sejumlah mahasiswa penerima beasiswa otonomi khusus Papua di luar negeri menghadapi ancaman deportasi setelah diminta untuk meninggalkan kampus akibat tunggakan biaya kuliah.

07 Dec 2023 - 13:05
Deportasi Mahasiswa Otonomi Khusus Papua: Kegagalan Pembiayaan dan Dampak Revisi UU Otsus
Aksi protes orang tua dari mahasiswa penerima beasiswa otonomi khusus Papua

Papua, (afederasi.com) - Sejumlah mahasiswa penerima beasiswa otonomi khusus Papua di luar negeri menghadapi ancaman deportasi setelah diminta untuk meninggalkan kampus akibat tunggakan biaya kuliah. Pemerintah Provinsi Papua menyatakan bahwa anggaran untuk melunasi biaya pendidikan mahasiswa tersebut "belum tersedia," menimbulkan keraguan terhadap komitmen pemerintah terhadap implementasi otonomi khusus Papua di bidang pendidikan.

"Kalau sampai pendidikan anak-anak kami bermasalah lalu mereka dideportasi pulang, ini berarti kan kegagalan pemerintah. Ini bisa membuat kami, orang Papua, tidak percaya dengan implementasi Otonomi Khusus di Papua," ungkap John Reba, perwakilan orang tua mahasiswa penerima beasiswa seperti yang dilansir dari Suara.com media partner afederasi.com.

Calvin Valdira Hamadi, mahasiswa penerima beasiswa otonomi khusus Papua, mengalami kegagalan dalam mengejar impiannya membangun Papua. Meski awalnya senang lolos seleksi beasiswa untuk kuliah di Amerika Serikat pada 2020, Calvin diharuskan pulang tanpa gelar sarjana karena kampus tidak dapat mentoleransi tunggakan pembayaran biaya kuliah dari Pemprov Papua.

"Tidak bisa, sudah tidak bisa. Waktu yang kami berikan sudah lama," kata Calvin, menegaskan pernyataan perwakilan kampusnya saat memohon waktu lebih untuk menyelesaikan tunggakan pembayaran.

Mahasiswa penerima beasiswa Siswa Unggul Papua secara berulang kali menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap keterlambatan pembayaran biaya kuliah kepada pemerintah. Bahkan, para orang tua mahasiswa pernah melakukan unjuk rasa dan menginap di kantor Gubernur Papua, namun protes mereka tampaknya tidak diindahkan oleh pemerintah.

"Tapi pemerintah seperti tidak mendengar," ungkap Calvin, mencerminkan keputusasaan mahasiswa dan keluarga mereka terhadap respons pemerintah terkait masalah ini.

Di Negara Bagian Michigan, AS, mahasiswa Papua lainnya, Kenan Reba, mengalami kesulitan finansial setelah pemerintah menunggak pembayaran uang kuliahnya. Meskipun mendapat toleransi dari kampus untuk melanjutkan kuliah, Kenan harus bekerja paruh waktu hingga tengah malam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

"Kami seharusnya fokus saja belajar, tidak perlu bekerja, dari pemerintah juga menyampaikan seperti itu untuk kami fokus saja belajar," ujar Kenan, menyoroti kesulitan mahasiswa fokus pada studi akibat keterlambatan pengiriman uang saku.

Meskipun bertujuan memperluas akses pendidikan bagi orang asli Papua, program beasiswa otonomi khusus Papua disoroti karena pengelolaannya yang dianggap carut marut. Keluhan mencakup data penerima beasiswa yang tidak sesuai domisili, ketidaksesuaian nama kampus, hingga mahasiswa yang kuliah di luar negeri namun tercatat di dalam negeri. KPK pun pernah memeriksa pejabat BPSDM Papua terkait tunggakan dana beasiswa ini pada 2022.

"Pemerintah harus serius menangani ini. Program ini sangat penting untuk pembangunan Papua," ujar Agus Sumule, pakar pendidikan dan otonomi khusus dari Universitas Papua.

Kepala BPSDM Papua, Aryoko Rumaropen, menjelaskan bahwa pembiayaan beasiswa, yang semula ditanggung penuh oleh pemerintah provinsi, kini dibagi menjadi tanggung jawab sembilan kabupaten dan kota Papua. Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus pada 2021 menjadi pemicu perubahan tersebut, menyebabkan keterlambatan dana dan pemotongan alokasi otonomi khusus untuk Provinsi Papua.

"Sampai rapat terakhir kami di DPRP kemarin, itu tidak satupun dari pemerintah ini untuk bantuan penanganan beasiswa di tahun 2023," ungkap Aryoko, menyoroti kekurangan anggaran dan ketidakjelasan pembiayaan pada tahun-tahun mendatang.

Orang tua mahasiswa menilai masalah ini sebagai indikasi bahwa "pemerintah tidak serius dengan pendidikan anak-anak Papua." Para ahli mendesak pemerintah pusat untuk bertanggung jawab menyelesaikan masalah ini, mengingat dampak dari revisi UU Otonomi Khusus yang memengaruhi alokasi keuangan dan pembiayaan program beasiswa. Pemerintah juga diminta untuk merespons ketidaksesuaian data penerima beasiswa dan keluhan terkait manajemen beasiswa yang buruk.

"Pemerintah pusat semestinya bisa mengambil alih tanggung jawab itu dengan memotong dana otonomi khusus," tegas Agus Sumule.(mg-2/jae)

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow