Firli Bahuri, yang dijadikan tersangka oleh Polda Metro Jaya, diduga terlibat dalam pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Sementara itu, Eddy Hiariej, tersangka korupsi dugaan penerimaan suap dan gratifikasi sebesar Rp 8 miliar dari Direktur Utama PT Cirta Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menekankan pentingnya praperadilan sebagai sarana untuk memastikan bahwa bukti yang diajukan dapat membantah argumen tersangka. Dia juga mengingatkan akan perlunya pengawasan eksternal untuk memastikan persidangan berjalan tanpa intervensi pihak manapun.
"Selain memastikan bukti yang dihadirkan bisa membantah argumentasi Tersangka, penting pula untuk mengawasi proses persidangan agar berjalan mandiri atau bebas dari intervensi pihak manapun," ujar Kurnia seperti yang dilansir dari Suara.com media partner afederasi.com.
ICW pun mengajukan permintaan kepada Komisi Yudisial (KY) agar turun tangan dalam melakukan monitoring terhadap persidangan Firli dan Eddy. Hal ini sejalan dengan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UU KY, yang menekankan pada pengawasan eksternal untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat hakim.
Antisipasi ini bukan tanpa alasan, mengingat sejumlah kasus korupsi sebelumnya di mana permohonan pembatalan penetapan tersangkanya dikabulkan oleh hakim. ICW mencatat sembilan kasus korupsi dengan permohonan pembatalan penetapan tersangkanya yang dikabulkan hakim sepanjang 2015 sampai dengan 2021.
Kurnia Ramadhana mengingatkan kasus-kasus seperti Budi Gunawan dan Setya Novanto, di mana praperadilan membuka ruang bagi pembatalan penetapan tersangka. Dia menyoroti perlunya kewaspadaan terhadap potensi kelengahan atau keganjilan dalam persidangan Firli dan Eddy, terutama mengingat sejarah PN Jakarta Selatan yang kerap mengabulkan permohonan tersangka korupsi. (mg-1/mhd)