Bayang Panjang Konflik Ijen
Bondowoso, (afederasi.com) - Pagi itu, kabut belum benar-benar terangkat dari lereng Ijen ketika suara tangis perempuan terdengar dari arah kebun kopi di Desa Kaligedang, Kecamatan Sempol, Bondowoso.
Di antara batang kopi muda yang patah, belasan buruh perempuan duduk bersimpuh. Beberapa hanya diam, menatap kosong. Sebagian lain menangis histeris.
“Der kening tolah, paak... semoga pelaku tertimpa azab,” jerit seorang buruh, sambil mengusap air mata dengan kaos yang diikat di kepala. Tangannya gemetar, matanya sembab.
Mereka bukan hanya kehilangan ribuan pohon kopi. Mereka kehilangan hasil kerja, rasa memiliki, dan harapan yang tumbuh bersama batang-batang muda itu.
Sekitar 6.661 pohon kopi di lahan 4,6 hektare milik PTPN I Regional V ditebang orang tak dikenal, Minggu malam, 12 Oktober 2025. Sebagian batang masih berdiri miring, daun-daunnya layu, tanahnya basah oleh embun dan amarah. Kebun itu ditanami pada tahun 2023 — kategori Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) — belum sempat panen perdana.
Kerugian ditaksir mencapai Rp 435 juta, tapi luka sosial yang tersisa jelas tak bisa dihitung dengan angka. “Benar, pengrusakan terjadi tadi malam,” kata Camat Ijen, Wisnu Hartono, yang datang ke lokasi pada Senin pagi.
Ijen bukan wilayah biasa. Ia terpencil, dikelilingi hutan, dan dihuni masyarakat yang sejak zaman kolonial sudah akrab dengan perkebunan. Sebagian besar warga Ijen adalah keturunan buruh kopi asal Madura yang dulu dibawa Belanda. Mereka hidup dari tanah yang kini tak sepenuhnya lagi milik mereka.
Polisi telah bergerak. Kapolsek Ijen, Iptu Suherdi, mengonfirmasi olah TKP bersama Brimob dan pegawai PTPN. Laporan resmi pun telah diserahkan ke Polres Bondowoso.
“Identitas pelaku belum diketahui. Dugaan sementara, ada kaitan dengan perselisihan yang sedang berjalan,” ujar Kasi Humas Polres Bondowoso, Iptu Boby Dwi Siswanto.
Tapi masyarakat di lereng Ijen tahu, peristiwa seperti ini tak lahir dari kekosongan. Ia berakar pada sejarah panjang konflik agraria yang tak kunjung selesai.
Bagi Pemerintah Kabupaten Bondowoso, persoalan ini seperti bara yang tak padam. Sekretaris Daerah, Fathur Rozi, menegaskan penyelesaian agraria di kawasan Ijen harus “utuh dan bijak”.
“Kita tidak bisa memandang dari satu sisi. Ini persoalan lama antara masyarakat, perusahaan, dan negara,” katanya setelah rapat Forkopimda di pendopo Bupati, Selasa sore.
Fathur menyebut, pemerintah telah memetakan penyelesaian dalam delapan zona. Zona satu, yang meliputi Kampung Baru dan Kampung Malang, disebut sudah tuntas. Relokasi masyarakat berjalan, namun enam zona lain masih menyimpan bara kecil yang bisa meledak kapan saja.
“Forkopimda sudah rapat berkali-kali. Kami ingin penyelesaian yang manusiawi, bukan sekadar legal,” ujarnya.
Ketua DPRD Bondowoso, Ahmad Dhafir, tampak paling keras menyoroti persoalan ini. Ia sudah mengenal masyarakat Ijen sejak 2004 dan tahu benar cara berpikir mereka.
“Masalah Ijen ini bukan sekadar soal lahan, tapi soal penghormatan. Jangan pakai pendekatan kekuasaan,” ujarnya tegas.
Dhafir menyebut, data yang dipegang PTPN sering tak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Ia mencontohkan, di zona satu PTPN melaporkan lahan 4 hektare dengan 6 penggarap. Setelah diverifikasi, ternyata 14 hektare dengan 18 penggarap.
“Kalau datanya salah, kebijakannya pasti salah. Alhamdulillah, zona satu akhirnya selesai lewat dialog,” katanya.
Dhafir juga menyentuh isu yang selama ini tabu: pembatalan Hak Guna Usaha (HGU). “Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 jelas. Kalau lahan tidak digunakan sesuai peruntukan dua tahun berturut-turut, HGU bisa dibatalkan,” ujarnya.
Dari total 7.800 hektare HGU PTPN, sekitar 3.000 hektare diakui ditanami hortikultura, bukan kopi. “Jadi tidak salah kalau masyarakat menggugat,” tambahnya.
Konflik agraria di Ijen pernah pula mencatat bab kelam pada 2006. Saat itu, 370 warga diperiksa atas tuduhan pengrusakan lahan. Kasusnya diselesaikan damai, tapi damai yang rapuh.
Kini, dua dekade berselang, kisah serupa berulang. Bedanya, kini masyarakat lebih berani bersuara.
“Kalau Israel dan Palestina saja bisa duduk bersama membicarakan damai, apalagi kita di Bondowoso,” ujar Dhafir menutup wawancara. (Den)
What's Your Reaction?


