Menangkan Sayembara, Karomah KH. Abdul Ghofur Kakek Gus Iqdam Penceramah Muda Blitar
Ketenaran Gus Iqdam yang terkenal dengan slogan “Dekengane Pusat” tidak lepas dari tirakat dan riyadhoh para leluhurnya.
Blitar, (afederasi.com) – Pendiri majelis ta’lim Sabilu Taubah Pondok Pesantren Mambaul Hikam II Desa Karanggayam, Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Agus Muhammad Iqdam Kholid (Gus Iqdam) menghiasi semua platform media sosial selama satu tahun terakhir. Bahkan jamaahnya mencapai puluhan ribu orang. Uniknya mereka dari berbagai kalangan.
Ketenaran Gus Iqdam yang terkenal dengan slogan “Dekengane Pusat” tidak lepas dari tirakat dan riyadhoh para leluhurnya. Diantaranya kakeknya KH. Abdul Ghofur yang mempunyai banyak kesaktian dan terkenal dengan qonaahnya. Begini perjalanan kakek Gus Iqdam, KH. Abdul Ghofur.
Seperti yang dijelaskan paman Gus Iqdam, KH. Dliyauddin Azzamzami dalam kanal YouTube EEL Channel. KH. Abdul Ghofur merupakan putra dari pasangan suami-istri KH. Abdul Muhyi- Nyai Sholehah.
“Mbah KH. Abdul Muhyi menantunya KH. Asnawi dari Kedunglurah, Kabupaten Trenggalek,”ujar Gus Dliya’, panggilan akrab KH. Dliyauddin Azzamzami.
Menurutnya KH. Asnawi sangat terkenal dengan ahli tirakat dan riyadhoh. Bahkan badanya KH. Asnawi bisa dikatakan Lunglit atau belung sama kulit (tulang dan kulit) karena sangat kurus sekali. Nah, ketika canggahnya Gus Iqdam, KH. Asnawi ini hendak meninggal dunia membuat sayembara.
“Semua anak dan cucunya dipanggil untuk mengikuti sayembara,”ka Gus Dliya’.
Sayembarang tersebut lanjut Gus Dliya’ dengan tujuan siapa saja anak can cucuknya canggahnya Gus Iqdam, KH. Asnawi yang memenangkan sayembara ini akan bisa mewarisi ilmunya, keramatnya dan riyadhohnya. Sayembara tersebut dengan cara memimun air yang ditempatkan di Bumbung (pohon bambu yang dipotong dengan panjang sekitar 50 Cm dan diberi air).
“Semua anak cucu baik orang tua, muda dan anak-anak meminumnya. Akan tetapi tidak bisa yang menghabiskan air didalam bumbung itu. Bahkan ada yang hendak muntah karena banyak minum air meski air didalam bumbung tetap mengalir,”jelas Gus Dliya’.
Bahkan melihat anak cucunya tidak bisa menghabiskan air didalam bumbung. KH. Asnawi menangis dan meminta mencari kembali. Siapa anak dan cucunya yang belum meminum. Akhirnya lanjut Gus Dliya’, Nyai Sholehah istri KH. Abdul Muhyi mengatakan jika ada cucunya yang belum ikut sayembara. Dia adalah KH. Abdul Ghofur yang masih menyusu Nyai Sholelah atau masih bayi. Mendengar informasi itu, KH. Asnawi mengatakan semua anak atau cucu meski masih bayi harus ikut meminum air dari bumbung itu.
“KH. Abdul Ghofur yang masih bayi minum air bumbung berhasil menghabiskan. Bahkan bumbung bambung yang masih hijau disesep yang kering atau berubah menjadi kuning. Jadi KH. Abdul Ghofur sudah kelihatan keramatnya,”jelas Gus Dliya’.
Perjalanan hidup kakek Gus Iqdam, KH. Abdul Ghofur sangat luar biasa tirakatnya. Sejak kecil ditinggal ayahnya, KH. Asnawi. Akhirnya ibunya Nyai Sholelah membawanya ke sebuah langar (mushola) di Desa Kedunglurah, Kabupaten Trenggalek. Pasalnya di Desa Mantenan, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar sudah tidak mempunyai warisan orang tuanya.
KH. Abdul Ghofur dan ibunya Nyai Sholehah tinggal di kamar langgar. Bahkan Nyai Sholehah dijuluki Mbah Langgar. Untuk mempertahankan hidup. Nyai Sholehah sebagai tukang wenter, yaitu memperbarui warna pakaian yang sudah pudar. Ketika menginjak dewasa, KH. Abdul Ghofur mengenyam Pendidikan agama di Pondok Pesantrean daerah Balong, Kabupaten Kediri, asuhan KH. Abdur Rosyad Kediri. Selanjutnya juga mondok di Mangunsari Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
“Di pondok Mangunsari itu ada dua kelompok, santri kawak atau senior dan satri muda,”ujar Gus Dliya’.
Kebiasaan di pondok Mangunsari ada kebiasaan acara tahunan. Biasanya santri muda menggelar orkes atau musik. Sementara santri tua banyak tirakat. Suatu ketika, teman-teman KH. Abdul Ghofur memintanya untuk membuat acara supaya rame pondoknya. Tanpa berfikir panjang, KH. Abdul Ghofur meminta teman-temanya menumpuk bantal yang banyak air liurnya. Kemudian bantal itu ditutupi dengan selimut.
“Tumpukan bantal ditepuk langsung jadi macan dan meraung-meraung,”cerita Gus Dliya’.
Meraung-meraung macan semakin malam semakin keras bahkan membuat pondok bergetar. Konser musik yang digelar santri muda langsung ditinggal penontonya karena semua ingin melihat macan yang meraung-raung.
Selain itu, suatu ketika santri muda selalu menggoda santri tua. Akhirnya KH. Abdul Ghofur kentut di kolam yang biasa dibuat mandi santri. Baunya kentut tidak hilang meski kolam itu ditutup. (mg-1)
What's Your Reaction?