Ancaman Jebakan Fiskal di Balik Janji Prabowo: Menguji Kredibilitas Asta Cita
Pemilihan 2024 telah mengamanahkan Asta Cita sebagai kontrak politik utama Prabowo-Gibran. Setahun pertama pemerintahan adalah momen krusial untuk mengukur akuntabilitas mereka: sejauh mana janji diterjemahkan menjadi aksi nyata. Analisis kritis menunjukkan bahwa kecepatan realisasi janji telah menciptakan celah kredibilitas yang serius, terutama di sektor fiskal dan tata kelola.
Politik Prioritas Tunggal yang Mahal
Pemerintahan baru menunjukkan efektivitas tinggi dalam merealisasikan janji unggulan, khususnya Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Komitmen politik ini diterjemahkan cepat melalui alokasi anggaran masif dalam APBN. Namun, kecepatan ini datang dengan biaya signifikan: timbulnya tekanan fiskal yang mengancam prinsip Efisiensi dan Keberlanjutan Anggaran.
Anggaran jumbo MBG, yang mencapai ratusan triliun rupiah, memicu kekhawatiran serius tentang potensi peningkatan Defisit Fiskal dan beban Utang Negara. Ini adalah trade-off berisiko: janji belanja besar berpotensi mengorbankan kualitas belanja di sektor lain, seperti investasi infrastruktur produktif atau efisiensi anggaran kesehatan/pendidikan.
Di sini, konsep opportunity cost menjadi nyata. Pembiayaan MBG dikhawatirkan harus mengorbankan investasi jangka panjang yang krusial. Selain itu, ketidakjelasan detail pelaksanaan dan potensi inefisiensi distribusi membuat uang besar yang diserap belum tentu diimbangi dengan outcome gizi yang optimal. Politik prioritas tunggal ini menempatkan pemenuhan janji elektoral di atas tanggung jawab manajemen fiskal yang hati-hati.
Kabinet Gemuk dan Erosi Meritokrasi
Realisasi janji di sektor tata kelola (governance) justru mencoreng konsistensi Asta Cita. Pembentukan "Kabinet Merah Putih" yang masif—atau yang dijuluki "Kabinet Gemuk"—bertentangan langsung dengan janji efisiensi birokrasi. Struktur kabinet yang besar berpotensi menghambat koordinasi dan menurunkan efisiensi pemerintahan, sekaligus memperbesar beban anggaran rutin.
Isu yang paling menggerus legitimasi adalah erosi meritokrasi oleh dinasti politik. Penunjukan figur-figur non-profesional yang memiliki keterkaitan politik/keluarga ke posisi strategis menimbulkan kekhawatiran bahwa kompetensi telah digantikan oleh pertimbangan kekuasaan dan balas jasa.
Kontroversi ini memicu risiko moral dalam tata kelola, di mana akuntabilitas pejabat cenderung didasarkan pada loyalitas, bukan kinerja. Hal ini menjadi penghambat serius bagi upaya mewujudkan pemerintahan yang transparan dan bebas korupsi. Sementara itu, janji penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu cenderung berjalan lambat, menambah bukti adanya celah antara komitmen politik dan aksi nyata dalam reformasi hukum.
Dari Janji ke Akuntabilitas
Evaluasi 12 bulan pertama menyimpulkan: pemerintahan Prabowo-Gibran efektif dalam mengkonversi janji sosial, tetapi terperangkap dalam dilema efisiensi fiskal dan integritas tata kelola. Tantangan terbesar mereka adalah memulihkan kepercayaan publik yang tergerus oleh inkonsistensi politik dan ancaman fiskal.
Rekomendasi Mendesak:
* Audit Efisiensi MBG: Lakukan audit outcome independen untuk memastikan dana ratusan triliun MBG menghasilkan dampak gizi yang terukur dan terbukti cost-effective.
* Disiplin Fiskal Ketat: Batasi pembiayaan utang baru hanya untuk proyek investasi produktif. Utamakan disiplin fiskal untuk menjaga keberlanjutan utang.
* Tegakkan Meritokrasi: Revisi struktur dan fungsi Kabinet. Pastikan penunjukan pejabat strategis didasarkan pada kompetensi, bukan pertimbangan politik atau keluarga, demi menjamin kualitas pengambilan keputusan.
Pada akhirnya, keberhasilan Asta Cita akan diukur dari kemampuan kepemimpinan untuk tidak hanya merealisasikan janji, tetapi juga mewujudkan tata kelola yang bersih, efisien, dan bertanggung jawab secara fiskal. Jangan sampai politik janji yang efektif justru berujung pada jebakan fiskal bagi generasi mendatang.
Oleh: Guntur Ega Pratama
Ketua Bidang Sosial Politik GMNI Universitas PGRI Madiun
What's Your Reaction?


