Bijak dalam Kampanye di Media Sosial Dalam Kontestasi Politik Indonesia 

11 Jul 2024 - 11:40
Bijak dalam Kampanye di Media Sosial Dalam Kontestasi Politik Indonesia 
Nasywa Putri Raasyidah. (Istimewa) 

Yogyakarta, (afederasi.com) - Pertumbuhan pesat pengguna media sosial telah mengubah cara pandang peserta pemilu dalam berinteraksi dengan para pemilihnya dalam menggunakan berbagai platform digital dalam berkomunikasi dengan konstituennya dalam kontestasi politik di Indonesia.

Dimana para kandidat dari partai peserta pemilu tidak lagi tergantung terhadap media konvensional seperti televisi, iklan, baliho dan bilboard, sebaliknya mereka memanfaatkan platform digital untuk memperluas jangkuan pemilih yang lebih besar dan lebih bervariasi dalam berinteraksi antara calon kandidat dan pemilih.

Nasywa Putri Raasyidah Mahasiswa Fakultas Hukum  Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta mengatakan calon pemimpin dalam konteks pilkada untuk melakukan kampanye baik melalui komentar, share, like or dislike dan berbagai fitur interaktif telah menjadi metode baru dalam kampanye. 

Sehingga media sosial menjadi pilihan menarik yang digunakan untuk mempermudah interaksi diantara sesama pengguna dan mempunyai sifat komunikasi dua arah (Ardiansyah & Maharani, 2021).

Dalam regulasi pemilu, media sosial didefinisikan sebagai platform berbasis internet yang bersifat dua arah yang memungkinkan sesama pengguna bisa berinterkasi langsung layaknya pertemuan tatap muka. Menurut Chris Morgan dalam bukunya Triyono (2016).

Menyebutkan bahwa media sosial merupakan seperangkat alat komunikasi dan kolaborasi yang memungkinkan berbagai bentuk interaksi dapat di lakukan yang sebelumnya tidak tersedia. 

Jika dalam regulasi pemilu, media sosial didefinisikan sebagai platform berbasis internet yang bersifat dua arah yang memungkinkan para penggunanya berinteraksi, berpartisipasi, berdiskusi, berkolaborasi, berbagi, serta menciptakan konten berbasis komunitas, maka Chris Brogan didalam tulisan Triyono (2016).

Nasywa mengatakan media social merupakan seperangkat alat komunikasi dan kolaborasi yang memungkinkan berbagai bentuk interaksi dapat dilakukan, yang sebelumnya tidak tersedia untuk orang biasa.

Media sosial memiliki empat potensi kekuatan utama yaitu: kolaborasi, partisipasi, pemberdayaan dan waktu. Media sosial bersifat kolaboratif dan partisipatif karena pada dasarnya media sosial sebagai wahana interaksi sosial secara virtual," terangnya Minggu (07/07/2024)

Nasywa menjelaskan media sosial (twitter, facebook, instagram, tiktok) memberikan kemampuan bagi pengguna untuk terhubung satu sama lain dan membentuk sebuah komunitas untuk kepentingan yang sama.

"Dimana pengaruh media sosial dalam komunikasi politik khususnya kampanye semakin digemari dan menjadi pilihan menarik di era saat ini, salah satunya adalah Twiter," ungkapnya.

Nasywa menjelaskan Twiter yang memberikan batasan dalam twitnya memaksa tim kampaye untuk kreatif menyampaikan gagasan, program, janji-janji politik lebih efektif, padat dan singkat serta diksi yang menarik untuk bisa meningkatkan elektabilitas yang pada akhirnya menguntungkan partai.

"Dengan Twiter propaganda, program, visi misi, pernyataan politik, janji-janji atau bahkan isu-isu yang mampu viral akan dapat dengan sangat cepat mendongkrak ataupun menjatuhkan elektabilitas hanya dalam hitungan detik," paparnya.

Selain itu Nasywa mengatakan,instagram juga menjadi pilihan yang menarik dimana kandidat dan tim kampanye dapat menciptakan konten-konten yang instagramable melalui poto dan video sehingga pemilih bisa mengenal lebih dalam kandidat secara personal dan mampu menciptakan hubungan emosional yang lebih mendalam.

"Namun kemudahan, kecepatan dan luasnya jangkauan yang ditawarkan media sosial bukan berarti tidak ada kendala dan tantangan dalam pelaksanaan komunikasi politik. Keberadaan buzzer yang siap dengan informasi-informasi negatif ataupun info hoaks yang akan membawa pembaca dan pemilik akun berperang argumen dan disaksikan oleh banyak pengguna media sosial," tambahnya.

Keberadaan buzzer ini tidak boleh dianggap sepele karena ini bisa dikategorikan menjadi dua, pertama adalah buzzer sukarela dan buzzer dengan imbalan tertentu. Buzzer profesional dengan imbalan tertentu akan sangat berperan dalam menyebarluaskan suatu informasi melalui aktivitas share or retweet terkait dengan narasi dan hashtag harian yang dapat dilihat masyarakat dalam bentuk trending topic.

Pada kondisi tersebut dituntut kedewasaan dari para pengguna untuk dapat menyaring informasi dengan benar  dan tidak terjebak dalam disinformation dan mengancam integritas kandidat dan juga memungkinkan terjadinya polarisasi dukungan pemilih terhadap kandidat.

Sehingga  diperlukan ada batasan dengan tidak menampilkan konten-konten yang bernada provokasi di media sosial yang dapat memicu kontroversi yang berpotensi terjadi kericuhan di tengan masyarakat kita. 

Jadi media sosial/ paltform berbasis digital telah memberikan ruang bagi penggunanya untuk menyampaikan ide, gagasan, program, visi, misi sebagai dalam pesta demokrasi untuk menyalurkan aspirasi, menyampaikan gagasan dan mengkritisi kebijakan pemerintah (Suanto&Irwansyah, 2021).

Harus disadari di era modern ini peradaban digital sudah menjadi gaya hidup karena kemajuan teknologi informasi. Media sosial telah mampu memainkan perannya dalam aspek kehidupan sosial masyarakat termasuk dalam hal kampanye politik (Rusmann, 2022).

Media sosial telah menjadi pilihan untuk peserta demokrasi aktif dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya yaitu komunikasi, informasi dan edukasi, dengan menggunakan media sosial ini selain memperluas jangkauan juga lebih efektif dan lebih diterima oleh anak-anak muda yang saat ini patut diperhitungkan suaranya.

 Sehingga tantangan yang dihadapi penggunaan media sosial adalah selain memperluas jaringan interaksi pemilih yang memiliki beragam karakteritik, cara berkomunikasi, pilihan diksi untuk isi konten juga harus diperhatikan, dan menjalankan interaksi secara langsung melalui statemen dan konten-konten kreatif, inovatif dan menarik (Moekahar dkk, 2022).

Pengguna media sosial semakin masif dikalangan anak muda dan masyarakat kita saat ini yang aktif serta menyukai mencari informasi melalui media sosial antara lain twitter, facebook, instagram dan tik tok untuk mengetahui lebih dalam kegiatan politisi dan partainya. 

Sedangkan realitas yang ada saat ini partai politik dan politisi masih belum optimal dalam penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye. Sehingga saran bagi para politisi/parpol dalam hal ini adalah untuk memanfaatkan media sosial sebagai kampanye pemilu secara optimal, perlunya pemahaman tentang cara yang efektif dalam memanfaatkan media sosial untuk mencapai tujuan kampaye, konten pesan politik sebaiknya disesuaikan dengan ciri khas anak muda yaitu sederhana, praktis, menarik dan mudah dipahami. Disisi lain penguna media sosial juga harus bijak dan kritis dalam mengkonsumsi konten politik di media sosial sehingga memperkuat partisipasi demokratis baik dari sisi kuantitas dan kualitas pemilih,"pungkasnya. (san) 

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow